Banda Aceh (ANTARA) - Praktisi hukum yang juga hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh Taqwaddin menyatakan, Provinsi Aceh membutuhkan hakim ad hoc untuk menangani perkara-perkara hukum jinayah.
"Dan ini sesuai fakta bahwa banyak mahkamah syariah yang saat ini kekurangan hakim. Perkara-perkara jinayah disidangkan di Mahkamah Syariah. Karena itu, dibutuhkan hakim ad hoc yang menangani perkara hukum jinayah," kata Taqwaddin di Banda Aceh, Jumat.
Baca juga: Polisi syariat pulangkan waria yang ditangkap di Banda Aceh
Pernyataan tersebut disampaikan Taqwaddin pada pembahasan uji publik naskah pedoman implementasi keadilan restoratif perkara hukum jinayah (jinayat) atau perbuatan yang dilarang syariat Islam.
Menurut dia, kebutuhan hakim ad hoc yang menangani perkara jinayah tersebut tidak hanya di peradilan tingkat pertama, tetapi juga pada mahkamah tingkat banding.
Taqwaddin mengatakan, saat ini hakim yang bertugas di mahkamah syariah di Aceh masih sedikit. Bahkan, ada mahkamah syariah memiliki dua hakim.
"Tambahan hakim Jinayah di Aceh sudah mendesak. Apalagi perkara-perkara jinayah semakin banyak jumlah dan kompleksitasnya," ungkap Taqwaddin, yang juga Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Aceh.
Baca juga: KPI minta Kominfo blokir situs judi online di wilayah syariat Islam
Ia mengatakan, Mahkamah Agung dapat mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc pada mahkamah syariah kepada Presiden. Dan ini berdasarkan Pasal 135 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Terkait keadilan restoratif perkara jinayah, Taqwaddin mengatakan sebenarnya hal itu sudah lama dipraktikkan dan sudah menjadi budaya hukum masyarakat Aceh dalam penyelesaian perselisihan secara adat.
Baca juga: Pemkab Aceh Barat lakukan razia warga berbusana tidak Islami
Apalagi di Aceh dengan mengacu pada perintah UU Nomor 11 Tahun 2006, telah pula dibentuk Qanun Aceh tentang Adat Istiadat, yang di dalamnya mengatur tata cara penyelesaian sengketa secara adat.
"Saya sudah membuktikan melalui riset pada 2012, di mana bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa secara adat mencapai lebih 90 persen. Mekanisme penyelesaian perselisihan secara adat ini bagaikan keadilan restoratif sebagaimana dikenal saat ini," katanya.
Baca juga: Pemerintah Aceh tetapkan libur hari tasyrik Idul Adha
Munir, hakim tinggi Mahkamah Syariah Aceh mendukung apa yang disampaikan Taqwaddin karena kebutuhan hakim di mahkamah syariah cukup mendesak. Apalagi mahkamah syariah di beberapa kabupaten/kota di Aceh jumlahnya minim.
"Saya mendukung sekali perlu adanya hakim ad hoc hukum jinayah. Hakim ad hoc ini diseleksi secara transparan dan ketat terhadap tokoh-tokoh yang berintegritas dan berkualitas mengenai hukum jinayah," kata Munir.
Baca juga: Kejari Aceh Besar eksekusi cambuk tiga pelanggar syariat Islam
Baca juga: DPR Aceh rumuskan qanun rencana induk penerapan syariat Islam
Baca juga: Dedi Mulyadi sebut Mahalini dinikahi Rizky Febian sesuai syariat Islam
Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024