Jakarta (ANTARA) - Bagi mereka yang sulit percaya koperasi sebagai entitas bisnis yang menjanjikan, bisa berkaca pada dua koperasi terbesar di dunia yakni Groupe Credit Agricole dari Prancis yang mengantongi pendapatan mencapai 88,97 miliar dolar AS dan REWE Group dari Jerman yang meraup total pendapatan 77,93 miliar dolar AS pada 2020.
Keterlibatan dan dampaknya pada anggota juga tak perlu ditanyakan lagi hingga mengantarkan semua pada satu kesimpulan bahwa koperasi merupakan badan usaha bersama yang bisa bersaing dengan entitas bisnis lainnya.
Namun prasyarat pendukung perkembangannya harus terlebih dahulu dipenuhi agar koperasi benar-benar bisa menjadi ekosistem bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan masyarakat di sektor informal lainnya.
Di Indonesia sendiri, seiring usia koperasi telah mencapai 77 tahun ini, Hari Koperasi Nasional mengambil tema Koperasi Sebagai Ekosistem untuk Konsolidasi, Akselerasi dan Eskalasi Ekonomi Mikro dan Kecil.
Ini menjadi momentum yang baik untuk mendorong seluruh elemen masyarakat untuk dapat mewujudkan koperasi sebagai entitas yang benar-benar mampu mewadahi pelaku UMKM agar semakin berkembang terkonsolidasi, terakselerasi, dan tereskalasi naik kelas.
Untuk itu, secara formal koperasi di tanah air memerlukan faktor pendukung berupa perubahan regulasi terhadap UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. UU tersebut sudah terlampau usang sehingga sulit untuk relevan dengan kondisi saat ini.
UU berumur 32 tahun yang dirumuskan dengan latar belakang yang jelas berbeda dengan kondisi saat ini akan terlampau berat untuk mencakup dan memayungi perkembangan koperasi di era digital yang sangat dinamis. Maka diperlukan regulasi baru yang dapat memberikan sebuah ekosistem bisnis yang lebih adaptif.
Beberapa hal sudah dirumuskan dalam RUU Perkoperasian yang baru yang diharapkan mampu merevolusi peraturan koperasi menjadi lebih baik bahkan lebih jauh lagi memitigasi kemungkinan penyalahgunaan badan hukum koperasi yang berpotensi merugikan masyarakat.
Namun sayangnya pembahasan RUU Perkoperasian memang masih tertunda meskipun Presiden telah menyampaikan Surat Presiden kepada DPR pada 19 September 2023 agar UU Perkoperasian mendapatkan prioritas.
Langkah proaktif
Sejalan dengan itu, Pemerintah tetap melakukan langkah-langkah proaktif untuk mendukung perkembangan koperasi melalui beberapa hal khusus mencakup mendorong ekosistem kelembagaan koperasi simpan pinjam dan koperasi sektor riil.
Ekosistem koperasi simpan pinjam terus dievaluasi dalam regulasinya dengan mencabut beberapa Peraturan Menteri Koperasi dan UKM dan Peraturan Deputi, lalu dirumuskan dalam Permenkop Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi.
Peraturan tersebut mengatur perihal pengawasan koperasi yang mengintegrasikan beberapa langkah pengawasan yang sebelumnya parsial seperti kelembagaan, keuangan, dan lain-lain. Pengawasan terpisah menyebabkan potensi kontradiksi hasil pengawasan antar sektor.
Melalui Permenkop Nomor 9 Tahun 2020 pengawasan koperasi terintegrasi dalam satu sistem berbasis digital. Peraturan di dalamnya juga mengklasifikasikan koperasi dalam 4 kelompok yaitu K1, K2, K3, dan K4 dengan memperhatikan jumlah anggota, modal, dan aset yang dimiliki koperasi.
Jumlah anggota di atas 9.000 orang, jumlah modal mencapai Rp15 miliar, dan aset mencapai Rp100 miliar akan digolongkan dalam kelompok koperasi besar. Tercatat di Indonesia telah ada 887 koperasi dengan aset mencapai Rp100 miliar hingga triliunan rupiah. Dengan data ini kemudian pengawasan diarahkan berdasarkan skala prioritas koperasi yang memiliki risiko tinggi.
Hal ini menjadi urgensi tersendiri mengingat perlu antisipasi dan mitigasi yang mendesak terkait banyaknya bermunculan penyalahgunaan badan hukum koperasi hingga merebak koperasi bermasalah yang menggalang dana masyarakat dalam jumlah besar.
Melalui pengawasan yang terintegrasi tersebut, praktik-praktik tak bertanggung jawab yang merugikan masyarakat sedikit banyaknya mulai dapat dimitigasi. Dari langkah itu pula diperoleh data untuk memperkuat usaha simpan pinjam koperasi.
Sejalan dengan itu juga sebenarnya telah terbit peraturan yang mendukung perkembangan koperasi jika dilihat dari perspektif yang lebih luas. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), dapat diatur koperasi-koperasi yang bergerak di sektor keuangan.
Koperasi dimungkinkan untuk bisa bergerak di seluruh sektor keuangan termasuk perbankan, investasi, dan asuransi. Hanya saja bagi koperasi yang bisnisnya akan menjangkau masyarakat umum disebut sebagai open loop maka izin dan pengawasannya akan berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan. Sebab meskipun badan hukumnya koperasi namun usahanya terkait perbankan dan melibatkan publik.
Sebaliknya koperasi jika hanya melayani anggota atau close loop maka izin dan pengawasan tetap berada di bawah Kementerian Koperasi dan UKM. Langkah-langkah seperti ini memberikan peluang dan kesempatan untuk menata koperasi di Indonesia menjadi lebih mudah diawasi sekaligus sebagai langkah purifikasi atau pemurnian koperasi.
Selain juga memberikan kebebasan kepada pelakunya untuk memilih izin dan pengawasannya sesuai dengan aspek pelayanan yang diberikan.
Sementara dari sisi modal, juga dapat diklasifikasikan jika modal luar persentasinya lebih dari 40 persen maka koperasi tersebut open loop dan jika di bawah 40 persen maka koperasi close loop.
Dari sisi model bisnis, sesuai dengan regulasi bahwa koperasi simpan pinjam adalah single purpose maka tidak diperbolehkan memiliki usaha lain di luar core bisnisnya, maka ini masuk dalam kelompok close loop koperasi. Sebaliknya jika koperasi punya usaha lain maka akan masuk dalam klasifikasi open loop.
Langkah ini sekaligus sebagai tindak lanjut Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam Koperasi. Dalam peraturan tersebut diatur dengan lugas usaha simpan pinjam koperasi harus ditangani oleh pengurus dan pengawas koperasi yang telah melakukan fit and proper test.
Pengurus dan pengawas juga harus mengenali segmen atau anggota yang dilayani, diatur pula perihal batas jumlah pinjaman, bunga simpanan, dan tingkat bunga pinjaman. Di dalamnya ditegaskan bahwa berkoperasi itu mengenai pemberdayaan bukan sekadar bisnis uang.
Dengan regulasi itu maka diharapkan tidak ada istilah koperasi seperti lintah darah karena sudah dibatasi bunga simpanan sebesar 9 persen dan maksimal bunga pinjaman 24 persen (semakin tinggi bunga, masa pinjaman semakin pendek).
Seluruh langkah tersebut dilakukan sebagai upaya penataan terhadap usaha simpan pinjam koperasi agar lebih prudent dan aman bagi koperasi dan bagi anggota.
Sektor riil
Sementara di sektor riil untuk koperasi ke depan diatur tersendiri mengingat potensi besar koperasi di sektor produksi yang santat menjanjikan dari sisi daya ungkitnya.
Anggota koperasi tidak semata memerlukan layanan finansial melainkan juga non finansial sehingga kehadiran koperasi di sektor riil sangat diperlukan.
Kementerian Koperasi dan UKM mendorong koperasi sebagai aggregator agar anggotanya memiliki daya saing yang tinggi. Koperasi juga didorong untuk terlibat dalam hilirisasi sawit, kelapa, dan komoditas lainnya melalui pengelolaan Rumah Produksi Bersama (RPB)
Upaya ini dilakukan untuk mencegah Indonesia terjebak dalam kondisi midle income trap. Sebab dengan terkonsolidasi dan terlembagakan dalam koperasi, UMKM dapat menjaga daya saingnya.
Hal inilah yang harus menjadi legasi baik yang diwariskan kepada pemerintahan baru agar pelaku usaha mikro di Indonesia yang populasinya mencapai 99 persen pelaku usaha di Indonesia dapat dikonsolidasikan sehingga keterbatasan sumber daya bisa diatasi oleh koperasi.
Faktor ini pulang yang perlu didorong dalam regulasi baru yakni RUU Perkoperasian yakni agar peran koperasi sektor riil semakin besar.
Fondasi inilah yang sedang terus siapkan melalui pengembangan model korporatisasi dan nelayan berbasis koperasi seperti pembangunan pabrik Minyak Makan Merah per 1.000 hektare sawit milik petani swadaya dan penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan kecil dan tradisional melalui skema SOLUSI atau Solar untuk Koperasi Nelayan.
Demikian halnya dengan pembangunan Rumah Produksi Bersama (RPB) pada 3 tahun terakhir. Rumah Produksi Bersama atau RPB menjadi sentra industri skala menengah (medium industry) yang dikelola oleh koperasi untuk mengolah komoditas unggulan ekonomi rakyat agar menghasilkan produk-produk berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi.
Koperasi telah menjelma menjadi solusi untuk memberikan kepastian pembelian produk, memberikan kepastian terhadap akses inovasi teknologi, memberikan kepastian terhadap akses kemitraan dan bahkan akses permodalan.
Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, RPB yang dikelola oleh koperasi ini telah terbangun dan mulai dikembangkan untuk pengolahan produk turunan dari cokelat, garam, rotan, bambu, kulit, cabai dan beberapa komoditas unggulan lainnya di sejumlah daerah.
Memang koperasi semakin dituntut memiliki kemampuan adaptasi, inovasi, dan akuntabel agar dapat memberikan manfaat kian besar kepada anggota dan lingkungannya sehingga koperasi semakin dipercaya oleh masyarakat.
Sesungguhnya Indonesia sedang membutuhkan lebih banyak lagi koperasi sektor riil, sektor produktif yang mampu mengoptimalisasi pengelolaan sumber daya alam agar lebih adil dan menyejahterakan. Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi koperasi yang menyediakan inovasi dan teknologi sehingga menjadi ekosistem usaha yang lebih menjanjikan bagi anak-anak muda untuk berkiprah. Dirgahayu koperasi Indonesia!
*) Penulis adalah Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM.
Copyright © ANTARA 2024