Persoalan ini begini sangat luar biasa, namun kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Australia. Saya akan menekan pemerintah dengan cara saya sendiri agar mereka juga peduli dengan apa yang dirasakan oleh rakyat pesisir NTT saat ini."
Kupang (ANTARA News) - Senator Rachel Siewert dari Parliement House Canberra berjanji akan memperjuangkan kompensasi bagi warga nelayan Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban tumpahan minyak akibat meledaknya kilang minyak Montara pada 21 Agustus 2009.
"Saya datang ke sini untuk mendapatkan sejumlah masukan terkait musibah yang dialami masyarakat akibat tumpahan minyak Montara di Laut Timor," kata Senator Siewert dari Australia Barat itu ketika berdialog dengan komponen nelayan dan petani rumput laut Desa Tablolong, Kabupaten Kupang, NTT, Minggu sore.
Senator Siewart yang didampingi Greg Phelps, kuasa hukum Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dalam kasus Pencemaran Laut Timor, berkunjung ke Desa Tablolong, untuk melihat dari dekat dampak yang dialami warga pesisir dari tumpahan minyak milik PTTEP Australasia asal Thailand itu.
Siewert sempat melihat korban yang mengalami gatal-gatal dan melakukan dialog dengan mereka yang diduga terkena dampak dari zat-zat beracun yang dimuntahkan dari kilang minyak Montara.
"Persoalan ini begini sangat luar biasa, namun kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Australia. Saya akan menekan pemerintah dengan cara saya sendiri agar mereka juga peduli dengan apa yang dirasakan oleh rakyat pesisir NTT saat ini," katanya.
Wanita bertubuh ramping itu mengatakan masalah pencemaran ini terus digelindingkan oleh media internasional serta perjuangan tanpa lelah dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) hanya karena persoalan kemanusiaan universal yang perlu segera diambil langkah-langkah penanggunglangannya.
Senator Siewert dari Partai Hijau itu mengatakan bukti serta persoalan yang dialami para petani rumput laut dan nelayan di wilayah pesisir Desa Tablolong tersebut akan menjadi sumber utama dalam menekan pemerintah Australia.
"Kami berharap akan segera dilakukan sebuah penelitian ilmiah yang konprehensip agar pihak perusahaan segera memberikan kompensasi kepada masyarakat pesisir di NTT yang menjadi korban dari meledaknya kilang minyak Montara itu," katanya.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mengatakan, perjuangan bersama Senator Rachel Siewert, sudah dilakukan sejak 2009, sepekan setelah kilang minyak Montara meledak di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
"Kami sudah sangat lelah dalam melakukan perjuangan ini, namun kami tidak pernah menyerah karena hal ini menyangkut masalah lingkungan dan kemanusiaan yang universal," ujarnya.
Kesungguhan perjuangan yang ditunjukkan Tanoni ini, kemudian mendapat sambutan dari Senator Siewert untuk melangkah bersamanya, serta pengacara senior Australia Greg Phelps yang berkedudukan di Darwin, bersedia untuk membela YPTB dalam kasus tersebut.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu menegaskan apapun alasannya PTTEP Australasia berkewajiban untuk melakukan ganti rugi atau kompensasi kepada masyarakat korban.
Bupati Kupang Ayub Titu Eki memberikan apresiasi kepada Senator Siewert dan kuasa hukum YPTB Greg dalam memperjuangkan nasib masyarakat di Kabupaten Kupang yang menjadi korban dari tumpahan minyak Montara.
Titu Eki berharap, agar hasil perjuangan berupa kompensasi tersebut hendaknya diberikan langsung kepada masyarakat korban, jangan lagi melalui jalur birokrasi di Indonesia.
Kepala Dinas Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur Abraham Maulaka mengaku akibat muntahan minyak dari kilang Montara itu, telah berakibat kepada menurunnya produktivitas tangkapan nelayan di Nusa Tenggara Timur.
Dia menyebutkan, produksi rumput laut di Kabupaten Sabu Raijua dan Kabupaten Kupang, pada 2009 mencapai 6.000 ton per tahun dengan nilai sekitar Rp19 miliar.
Namun demikian, hasil itu mulai berkurang hingga hanya berproduksi 500 ton/tahun hingga pada posisi 2013.
Tanaman rumput laut yang dilukiskan sebagai "emas hijau" itu mulai terkena bercak-bercak putih sejak 2010, dan kemudian berguguran dan mati.
"Dampak dari tumpahan minyak itu sangat dirasakan oleh para petani rumput laut dan nelayan di NTT," kata Maulaka.
Hal yang sama juga terjadi pada produksi tangkapan ikan. Pada 2009, tangkapan nelayan mencapai 117.189 ton. Hasil itu terus menurun, hanya tersisa 92.261 ton/tahun pada 2010.
"Dan pada 2013 tangkapan hanya mencapai 72.623 ton saja," kata Abraham melukiskan fenomena tentang dampak dari pencemaran tersebut.
Dengan demikian, kata Abraham, perjuangan untuk pemberian kompensasi harus dilakukan, agar menaikan kembali kepercayaan masyarakat nelayan dalam melakukan aktivitas budidaya rumput laut dan tangkapan ikan, demi peningkatan ekonomi keluarga. (YHS/L003)
Pewarta: Yohanes Adrianus
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014