Namun, memang proses realokasi anggaran ini harus dikelola dengan baik...

Jakarta (ANTARA) - Direktur Kebijakan Publik dari lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai bahwa realokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) diperlukan untuk mengurangi beban fiskal yang diakibatkan oleh subsidi BBM.

Wahyudi melalui pesan singkat, di Jakarta, Kamis, menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah akan membatasi pembelian BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024.

Luhut mengatakan bahwa masih banyak orang yang tak berhak menerima subsidi tetapi menikmatinya, sehingga harus ada pembatasan agar subsidi ini tak kian membebani keuangan negara. Apalagi defisit APBN 2024 diproyeksikan akan lebih besar dari target yang telah ditetapkan.

Wahyudi sependapat dengan pernyataan Luhut. Ia mengatakan pada 2024, pemerintah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp189 triliun.

Ia menyebut dana yang seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, seperti pembangunan transportasi publik dan subsidi pendidikan dan kesehatan, harus dialokasikan untuk menutupi defisit anggaran yang diakibatkan oleh subsidi BBM ini.

“Namun, memang proses realokasi anggaran ini harus dikelola dengan baik, jangan sampai justru membebani masyarakat kelas bawah dan terjadi gejolak ekonomi dan peningkatan angka inflasi secara drastis,” ujar Wahyudi.

Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan beberapa langkah dalam melakukan realokasi subsidi BBM ini. Pertama, kebijakan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Kedua, untuk meminimalisir dampaknya, dana subsidi BBM harus dialokasikan untuk bantuan atau perlindungan sosial.

Di samping itu, perlu ada program untuk melindungi kelas menengah secara ekonomi, yang bisa berupa subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan hingga diskon dan dukungan untuk transportasi publik.

“Jadi ruang fiskal dari subsidi BBM digunakan untuk mendorong ekonomi produktif dan jaring pengaman sosial,” katanya lagi.

“Yang pada akhirnya juga bisa menjaga daya beli, penerimaan pajak dan struktur ekonomi makro secara umum,” ujar dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Senin (8/7), melaporkan bahwa APBN mengalami defisit sebesar Rp77,3 triliun atau 0,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada semester I-2024.
Baca juga: Erick: Pengetatan BBM subsidi menyesuaikan ekonomi penduduk Indonesia
Baca juga: Menko Luhut sebut penerima BBM subsidi diperketat pada 17 Agustus

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024