Beijing (ANTARA) - Tak ada yang tak istimewa saat pertama kali menginjakkan kaki di Linzhi atau disebut juga Nyingchi, kota di ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut (dpl) yang masuk dalam wilayah administratif Daerah Otonom Xizang atau Tibet.

Barisan gunung diselingi dengan tebing tinggi namun tertutup pepohonan, menampilkan hamparan pemandangan hijau berbagai spektrum sehingga menghadirkan suasana santai, rileks, dan tenang. Kehijauan tersebut dapat menimbulkan efek memperlambat metabolisme tubuh maupun pikiran.

Padahal pada masa kuno, Linzhi disebut "GGongbu" atau dalam dialek Xizang berarti "Tahta Matahari" karena titik tertingginya dapat mencapai 7.000 meter dpl.

Meski saat pertama merasa takjub dan bahagia berada di Linzhi, namun ketika mobil yang membawa beberapa jurnalis melaju menuju distrik Lulang yang berada di ketinggian 3.700 meter dpl, maka mulai muncul sakit kepala ditambah jantung berdebar.

Memang bagi mereka yang baru pertama kali di atas ketinggian ekstrem akan mengalami high altitude illness (HAI) yang ditandai dengan gejala sakit kepala, sesak napas, jantung berdebar, mual, muntah hingga pingsan.

Untuk mengatasinya, setiap orang yang baru pertama kali menjejakkan kaki di Tibet harus bergerak perlahan, berjalan santai, melakukan berbagai hal mulai dari makan, bicara bahkan tertawa dengan tempo lambat.

Distrik Lulang yang menjadi tuan rumah "Forum Xizang Trans-Himalaya Untuk Kerja Sama Internasional ke-4" di Kota Linzhi, Daerah Otonom Xizang, China di ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut (dpl) pada Kamis (4/7/2024) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Saran lain adalah makan makanan yang mengandung karbohidrat maupun makanan yang mudah dicerna seperti buah-buahan dan sayuran yang kaya vitamin serta minum air putih yang cukup agar tetap terhindrasi. Tidak disarankan untuk mandi pada hari pertama tiba untuk menghindari dari kedinginan.

Berpikir positif dan tidak terlalu khawatir juga penting untuk menjaga kesehatan fisik, bergembiralah karena punya kesempatan untuk merasakan "atap dunia".

Namun bila tidak tertahankan lagi, tak perlu malu untuk meminta tabung oksigen medis maupun personal "oxygan spray" atau oksigen semprotan yang berada di mobil. Bahkan seorang jurnalis asal Kuba sempat pingsan beberapa menit di toilet umum di tempat peristirahatan sebelum rombongan tiba ke Lulang.

Ketika sudah terbiasa dengan tekanan udara di "atap dunia" tersebut, sesungguhnya pengunjung dapat menikmati kualitas 99 persen udara bersih karena Indeks Kualitas Udara (AQI) berkisar 6-8, sangat berbeda dengan AQI di Beijing yang berkisar 125-132.

Apalagi ditambah hiburan di kiri kanan jalan saat beberapa yak --sejenis bison berkulit hitam atau cokelat yang banyak dijumpai di dataran tinggi Tibet dan sekitar Pegunungan Himalaya. Badannya lebih berisi dibanding kerbau, bertanduk, dan bulunya lebih tebal. Oleh penduduk sekitar yak dapat dimakan dagingnya meski agak alot namun susunya bisa diolah menjadi mentega maupun lilin.

Selain yak berlalu lalang, kadang di bibir tebing tergantung bendera doa berisi mantra sehingga menambah kesan magis.

Bendera doa yang tergantung baik horizontal maupun vertikal itu terbagi menjadi lima warna berbeda yang mewakili elemen dan energi berbeda-beda.

Warna biru melambangkan langit dan luar angkasa; putih melambangkan angin, awan dan udara; merah menyimbolkan api; hijau melambangkan air dan kuning melambangkan bumi. Dengan kelimanya tergantung maka melambangkan keseimbangan dan harmoni alam.

Forum Trans-Himalaya

Distrik Lulang pada 3-5 Juli 2024 menjadi tuan rumah Forum Xizang Trans-Himalaya Untuk Kerja Sama Internasional ke-4 dengan tema "Mempromosikan Harmoni Manusia dan Alam, Berbagi Hasil Kerja sama dan Pembangunan" yang dihadiri dari 20 negara dan wilayah.

Delegasi luar negeri yang hadir berasal dari negara tetangga Tibet yaitu India, Bhutan, Nepal dan Myanmar. Selain itu hadir juga delegasi dari Afghanistan, Sri Langka, Chili, Korea Selatan, Bolivia, Korea Selatan, Afghanistan dan sejumlah duta besar negara lain.

Forum tersebut pertama kali dimulai pada 2018 dengan tujuan memperkuat kerja sama demi melindungi Xizang atau Tibet sebagai "Atap Dunia" sekaligus menjaga bumi sebagai rumah bagi semua orang.

Distrik Lulang yang menjadi tuan rumah "Forum Xizang Trans-Himalaya Untuk Kerja Sama Internasional ke-4" di Kota Linzhi, Daerah Otonom Xizang, China di ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut (dpl) pada Kamis (4/7/2024) (ANTARA/Desca Lidya Natalia) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Xizang mempertahankan kualitas udara yang sangat baik hingga 99 persen, sedangkan sungai dan danau di Xizang juga memenuhi atau melampaui standar kualitas air Kelas III, dan telah mencapai netralitas karbon lebih cepat dari jadwal, menjadikannya Xizang sebagai salah satu lingkungan ekologi terbaik di dunia," kata Sekretaris Komite Daerah Otonomi Xizang Partai Komunis China Wang Junzheng dalam sambutannya.

Sedangkan Wakil Ketua Komite Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China ke-14 --badan penasihat politik utama di China--
Qin Boyong mengatakan kerja sama internasional telah dilakukan untuk meningkatkan tata kelola lingkungan sekaligus mendorong pembangunan ramah lingkungan.

Namun untuk menjaga keberlangsungan alam, pakar ekowisata asal Malaysia yang juga mantan Sekretaris Dewan Pacific Asia Travel Association (PATA) Anthony Wong dalam acara tersebut mengatakan pemerintah harus tetap menggerakkan ekonomi masyarakat lokal.

"Sekitar 50 tahun yang lalu orang-orang menertawakan saya, kenapa saya pergi ke hutan untuk berwisata? Tapi saat ini makin banyak masyarakat yang tertarik dengan ekowisata, wisata alam karena sesungguhnya pemerintah juga tidak bisa membiayai seluruh ongkos untuk menjaga kawasan alam yang dibuka untuk turis," kata Anthony yang berperan penting untuk membuka taman nasional Taman Negara di Malaysia.

Menurut Anthony, turis menginginkan atraksi khas saat datang ke tempat wisata dan kekhasan itu hanya didapat berasal dari kemitraan dengan masyarakat lokal.

"Ekowisata selalu berdasarkan komunitas, masyarakat harus diedukasi mengenai ekowisata dan bagaimana bukan hanya menjual wisata tapi cerita di balik itu, artinya harus disediakan pemandu wisata yang bagus juga," ungkap Anthony.

Dengan masukan tersebut, Deputi Direktur Jenderal Kantor Urusan Luar Negeri Daerah Otonomi Xizang Yang Lahong, mengatakan bahwa Xizang sesungguhnya tidak ingin dikenal hanya dengan sisi "misteriusnya".

"Beberapa film mungkin menunjukkan Tibet sebagai kawasan yang jauh, tak terjangkau dan misterius, namun sebenarnya kami ingin dikenal lebih dari itu," kata Yang Lahong.

Yang Lahong menyebut Xizang ingin dikenal sebagai daerah dengan interaksi masyarakatnya yang guyup, basis energi bersih, peradaban kuno dan kehidupan sosialnya yang harmonis.

Misteri Xizang

Namun tak dapat disangkal Xizang atau Tibet tetap menghadirkan tanda tanya dengan misterinya.

Distrik Lulang yang menjadi tuan rumah "Forum Xizang Trans-Himalaya Untuk Kerja Sama Internasional ke-4" di Kota Linzhi, Daerah Otonom Xizang, China di ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut (dpl) pada Kamis (4/7/2024) (ANTARA/Desca Lidya Natalia) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Salah satu pertanyaan yang muncul misalnya mengapa pemerintah setempat memilih kata "Xizang" dan bukan "Tibet" untuk merujuk wilayah administratif seluas 1,2 juta kilometer persegi tersebut.

Dari sejumlah literatur disebutkan bahwa asal-usul kata "Xizang" adalah "Xi" dalam bahasa Mandarin yang berarti Barat dan "Dbus-Gtsang" yang merujuk pada wilayah inti Kerajaan Tubo yang berdiri dari abad ke-7 hingga ke-9 di kawasan itu.

"Dbus" berarti "bagian tengah" dalam bahasa Tibet yang mengacu pada wilayah di sekitar Lhasa saat ini sedangkan "Gtsang" berarti "tepian hulu Sungai Yarlung Zangbo". Kedua wilayah tersebut merupakan bagian utama Daerah Otonomi Xizang.

"Dbus-Tsang" pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin sebagai "Weizang", sebelum secara bertahap berubah menjadi "Xizang" sejak pertengahan abad ke-16 khususnya pada masa Dinasti Qing.

Daerah Otonom Xizang juga memiliki luas hutan yang mencapai 179,8 ribu kilometer persegi sedangkan luas padang rumputnya seluas sekitar 119 ribu kilometer persegi.

Xizang terletak di ketinggian rata-rata lebih dari 4.000 meter sehingga sering disebut "Atap Dunia" dan "Tanah Murni Terakhir di Bumi". Terdapat lebih dari 50 puncak yang tingginya lebih dari 7.000 meter, dan 11 diantaranya memiliki ketinggian lebih dari 8.000 meter.

Meski wilayahnya luas, Xizang memiliki populasi terkecil di antara seluruh provinsi di China yaitu sebanyak 3,65 juta jiwa (2023) yang mendiami 7 prefektur (kota), 74 kabupaten dan 714 distrik (setingkat kecamatan).

Terdapat lebih dari 50 suku di wilayah ini termasuk suku Tibet, Han, Hui, Menba, Looba, Naxi, Nu dan Dulong. Dataran tinggi juga menjadi rumah bagi komunitas kecil Deng dan Sherpa.

Dengan kondisi alam tersebut, data pemerintah setempat menyebut Xizang memiliki pohon tertinggi di China yaitu 83,2 meter di Kabupaten Chayu, Kota Linzhi.

Selain itu, terdapat banyak hewan yang dilindungi seperti macan tutul salju, yak liar, antelop Tibet, bangau leher hitam dan monyet hidung pesek emas Yunnan. Bahkan rusa Xizang, yang pernah dianggap punah, kini telah ditemukan jumlahnya mencapai lebih dari 800 ekor. Spesies hewan liar baru seperti kera pipi putih dan tumbuhan liar baru, Geelong Bulbophyllum, juga ditemukan di kawasan itu.

Bagi turis (maupun jurnalis) dari luar China yang ingin mengunjungi Xijang, pun harus mengantongi surat undangan dari otoritas setempat alias tidak bisa sembarangan datang ke Xizang. Mungkin kebijakan itulah yang juga membuat Xizang tetap menjadi kawasan misterius, khususnya bagi orang asing.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024