BSI sendiri (saat proses merger) yang kita takutkan itu adalah culture, budaya. Karena tiga institusi punya budaya yang berbeda. Jadi tantangan yang paling besar itu adalah budaya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk Hery Gunardi memandang bahwa perbedaan aspek budaya menjadi tantangan terbesar di dalam proses merger tiga anak perusahaan bank BUMN yang kini menjadi BSI.

Hery mengutip Harvard Business Review yang menyebutkan bahwa sekitar 70-90 persen merger gagal selama fase integrasi. Dia memandang, fase integrasi merupakan fase yang sulit mengingat setiap perusahaan biasanya membawa ego dan paham lama.

“Saya masih ingat, dulu ada satu bank di Jepang. Dan setelah diumumkan merger, waktu integrasinya susah. Kenapa? Karena masing-masing membawa ego, membawa pola lama dan paham lama,” kata Hery saat diskusi buku “Mega Merger in The Pandemic Era” di Jakarta, Kamis.

Oleh sebab itu, menurut dia, memang harus dibuat suatu kebijakan (policy) dan langkah aksi (action) yang lebih cermat. Saat proses tiga bank syariah milik Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) menjadi BSI, Hery mengakui bahwa aspek perbedaan budaya setiap bank menjadi tantangan yang dikhawatirkan.

“BSI sendiri (saat proses merger) yang kita takutkan itu adalah culture, budaya. Karena tiga institusi punya budaya yang berbeda. Jadi tantangan yang paling besar itu adalah budaya,” ujar dia.

Apabila aspek perbedaan budaya tidak dapat diatasi, Hery mengingatkan bahwa proses merger juga kemungkinan bisa gagal. Dia juga mengingatkan, hanya sebagian kecil perusahaan-perusahaan hasil merger yang menjadi sukses.

Hery mengatakan, terdapat beberapa mitos yang dikhawatirkan sebelum merger mulai dari kualitas sumber daya manusia (SDM) bidang perbankan syariah, manajemen risiko (risk management) bank syariah, teknologi informasi (IT) dan digitalisasi, hingga branding bank syariah.

“Di kepala saya, kita harus bisa membalikkan mitos-mitos ini. Apa yang kita harus lakukan adalah akhirnya kita membangun semua (aspek),” ujar dia.

Adapun BSI sendiri, jelas Hery, membawa praktik terbaik dari masing-masing entitas bank syariah yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah. Rancangan merger ketiga perusahaan dimulai sejak Maret 2020.

Merger BSI berlangsung saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, Hery menyelesaikan proses integrasi sesuai dengan jadwal yang sebelumnya telah ditetapkan. Sebagai pemimpin proyek merger ini, dia mengakui bahwa tugas tersebut bukanlah hal yang mudah.

Hery menjelaskan, proses merger mencakup dua tahap antara lain tahap legal merger dan operational merger. Di BSI, legal merger dimulai setelah RUPSLB pada 15 Desember 2020 yang diikuti dengan persetujuan penggabungan dari Otoritas Jasa Keuangan pada 27 Januari 2020 hingga operational merger yang puncaknya peresmian BSI pada 1 November 2021 di Istana Negara.

Dia menyampaikan, kelahiran BSI didasarkan pada keinginan besar pemerintah agar Indonesia memiliki bank syariah yang besar dan menjadi representasi kekuatan perbankan syariah di dalam negeri maupun global.

Kehadiran BSI, ujar Hery, harus bisa menjadi bank syariah yang modern, universal, dan inklusif. BSI pun juga harus mampu menjangkau lebih banyak masyarakat di Tanah Air.

“Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak. Tapi sebelum hadirnya BSI, tidak ada bank syariah besar. Ini merupakan anomali, padahal kita punya potensi besar untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah,” kata Hery.

Baca juga: BSI incar posisi tiga teratas bank syariah global dari sisi market cap
Baca juga: BSI siapkan 540 cabang selama Juli untuk layanan "weekend banking"
Baca juga: BSI pererat kerja sama keuangan syariah dengan Malaysia

 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024