Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan baru ke depan memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk dapat mengatasi masalah pangan, stunting, kemiskinan, dan pemborosan makanan.
Oleh karena itu, keberadaan "food bank" menjadi salah satu alternatif solusi yang penting. Food bank sebagai organisasi nirlaba akan mengumpulkan dan mendistribusikan makanan ke badan amal untuk memberi bantuan terhadap masalah kelaparan.
Food bank menjadi urgensi tersendiri bagi Indonesia untuk membantu mengatasi kesenjangan pangan di masyarakat. Konkretnya, untuk mengurangi pemborosan pangan dengan mengumpulkan kelebihan makanan dari berbagai sumber, seperti supermarket, restoran, dan donatur.
Kemudian untuk menyalurkan makanan yang masih layak konsumsi kepada masyarakat yang membutuhkan, terutama kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan kaum duafa. Sebagai pendukung upaya penurunan angka stunting melalui program-program, seperti Sayap dari Ibu (SADARI) yang membantu ibu-ibu dari golongan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Food bank juga akan berkontribusi dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan nomor 2 (mengakhiri kelaparan), 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), dan 17 (kemitraan untuk mencapai tujuan).
Seiring dengan fungsinya sebagai jembatan antara masyarakat yang berlebihan makanan dengan masyarakat yang membutuhkan, sehingga keberadaan food bank membantu mengurangi kesenjangan sosial.
Indonesia dapat belajar ke negara lain yang memiliki infrastruktur kebijakan dan kelembagaan yang telah mumpuni, misalnya di Jepang. Negara itu bisa menjadi contoh sukses yang berhasil mengatasi masalah pangan dan kemiskinan melalui Food Bank Kanagawa di Jepang.
Sejak 2020, Food Bank Kanagawa telah aktif dalam berbagai kegiatan untuk membantu kelompok rentan, termasuk mahasiswa dan keluarga dengan orang tua tunggal.
Food Bank Kanagawa, misalnya mengadakan acara bulanan di Sagamihara untuk mahasiswa yang tinggal di kota tersebut. Acara ini menyediakan bahan makanan, seperti beras dan sayuran segar yang disumbangkan oleh petani lokal dan roti dari pembuat roti setempat.
Banyak mahasiswa yang menghadiri acara ini berasal dari keluarga kurang mampu dan sangat terbantu oleh program ini, terutama selama pandemi COVID-19 ketika banyak dari mereka kehilangan pekerjaan paruh waktu mereka.
Food Bank Kanagawa juga fokus pada keluarga dengan orang tua tunggal, terutama ibu tunggal yang sering kali bekerja di sektor informal atau paruh waktu.
Pandemi memperburuk situasi ekonomi mereka, dan food bank ini menyediakan paket makanan yang mencakup beras dan bahan makanan lain yang mudah disiapkan tanpa perlu memasak, mengingat beberapa keluarga tidak memiliki akses ke gas atau listrik karena tunggakan pembayaran.
Negara lainnya di Asia Tenggara, yaitu Singapura dengan The Food Bank Singapore (FBSG). The Food Bank Singapore (FBSG) adalah contoh lain dari food bank yang berhasil di Asia. Didirikan oleh saudara kandung Nicholas dan Nichol Ng pada tahun 2012, FBSG telah berkembang menjadi salah satu lembaga amal pangan terkemuka di Singapura.
FBSG mengumpulkan makanan berlebih dari berbagai sumber, seperti distributor makanan dan restoran untuk didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Selama pandemi COVID-19, FBSG mencatat jumlah donasi makanan tertinggi sepanjang masa, yang membantu banyak keluarga yang kehilangan stabilitas finansial.
FBSG juga memasang mesin penjual otomatis di berbagai lokasi di Singapura yang menyediakan makanan siap saji dan bahan makanan kering. Ini memberikan fleksibilitas dan martabat bagi penerima manfaat, memungkinkan mereka untuk mendapatkan makanan kapan saja, tanpa harus mengantre untuk ransum.
Bahkan FBSG bekerja sama dengan restoran, seperti Fei Siong dan Subway untuk memungkinkan penerima manfaat membeli makanan dengan kartu "bank" yang diisi dengan kredit. Ini membantu meningkatkan kepercayaan diri penerima manfaat dengan memberi mereka pengalaman makan di luar rumah.
Mereplikasi sukses
Food bank serupa, seperti di Jepang dan Singapura, sudah saatnya direplikasi di Indonesia sebagai langkah antisipasi dan mitigasi atas ancaman krisis pangan di Tanah Air.
Krisis pangan bukan semata isapan jempol, melainkan ancaman serius. Data menunjukkan pada 2020, sekitar 19,16 juta orang atau 7,38 persen penduduk Indonesia tercatat mengalami krisis pangan. Data FAO juga menyebutkan sekitar 35 juta penduduk Indonesia mengalami malnutrisi pada tahun 2020.
Sementara perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim pada periode 2020-2024.
Berdasarkan Global Hunger Index 2023, Indonesia masih berada di peringkat 77 dari 125 negara dengan skor 17,6, yang menunjukkan tingkat kelaparan moderat. Sekitar 19,4 juta orang Indonesia masih tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Ketimpangan akses pangan juga terjadi. Meskipun produksi pangan meningkat, masih ada ketimpangan akses pangan di berbagai daerah.
Beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua Barat memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Stunting juga masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia tercatat sebesar 21,6 persen.
Sebetulnya, angka ini ada penurunan dari tahun sebelumnya (24,4 persen pada 2021), namun ini masih perlu terus diperjuangkan untuk memenuhi target pemerintah sebesar 14 persen pada Tahun 2024.
Stunting tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan kognitif dan risiko penyakit kronis di masa depan.
Kemiskinan pun masih menjadi akar dari berbagai permasalahan pangan dan gizi di Indonesia. Data BPS menunjukkan pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 25,90 juta orang atau sekitar 9,36 persen dari total penduduk.
Meskipun ada penurunan dibandingkan periode sebelumnya, angka ini juga masih memerlukan perjuangan untuk mencapai target pemerintah sebesar 6,5-7,5 persen pada Tahun 2024.
Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi masalah pemborosan pangan yang signifikan. Menurut studi The Economist Intelligence Unit tahun 2016, Indonesia merupakan negara yang memproduksi sampah makanan terbesar kedua di dunia.
Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2021 sebesar 8,03 juta ton makanan terbuang ke tempat sampah, yang berdampak pada percepatan panas Bumi dan hilangnya kesempatan bagi 61-125 juta orang untuk mendapatkan akses pada pangan.
Menghadapi berbagai permasalahan tersebut maka food bank mendesak untuk dikaji dan diterapkan.
Keberhasilan food bank di Jepang dan Singapura menunjukkan bahwa model ini dapat diadaptasi dan diterapkan di Indonesia untuk mengatasi masalah pangan dan kemiskinan.
Sebagaimana pengalaman di Singapura, Indonesia juga menghadapi masalah pemborosan pangan yang signifikan. Food bank dapat membantu mengurangi pemborosan ini dengan mengumpulkan dan mendistribusikan makanan berlebih kepada mereka yang membutuhkan.
Food bank dapat memberikan bantuan langsung kepada kelompok rentan, seperti mahasiswa dari keluarga kurang mampu dan keluarga dengan orang tua tunggal, seperti yang dilakukan di Jepang.
Persoalan teknis juga dapat belajar dari masyarakat di Singapura melalui adopsi inovasi, seperti mesin penjual otomatis dan kemitraan dengan restoran dapat memberikan fleksibilitas dan martabat bagi penerima manfaat, serta meningkatkan efisiensi distribusi pangan.
Dengan belajar dari praktik terbaik di Jepang dan Singapura, Indonesia dapat mengembangkan dan memperkuat food bank untuk mengatasi masalah pangan dan kemiskinan secara lebih efektif dan berkelanjutan.
Food bank dapat menjadi mitra pemerintah dalam menyalurkan bantuan pangan dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Indonesia menghadapi beban ganda malnutrisi, di mana kekurangan gizi masih tinggi, sementara obesitas juga meningkat. Food bank dapat membantu menyediakan makanan bergizi.
Dengan berbagai tantangan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia, keberadaan food bank menjadi sangat penting untuk membantu mengatasi kelaparan, meningkatkan akses pangan bergizi, dan mendukung upaya pemerintah mencapai ketahanan pangan nasional.
Untuk mengoptimalkan peran food bank di Indonesia, ada beberapa rekomendasi yang layak dipertimbangkan, antara lain penetapan kebijakan dan payung hukum food bank; pengembangan model kelembagaan food bank yang efektif; peningkatan kapasitas kelembagaan food bank dan para pengelolanya; dukungan terhadap aspek sosial budaya melalui beragam kampanye; dan kolaborasi lintas sektoral dalam penanganan food waste.
Akhirnya, semua upaya yang dilakukan, jika sendiri-sendiri, maka tidak akan berdampak signifikan terhadap perubahan, perlu upaya bersama di awali atas kesadaran bersama, tindakan bersama dan akhirnya menjadi sebuah gerakan, pada tahap inilah pemborosan, kemubaziran, dan kesia-siaan terhadap berkah Tuhan berupa makanan yang sia-sia terbuang akan terkurangi secara signifikan.
*) Prof. Dr. H. Ahmad Subagyo, S.E., M.M. adalah Wakil Rektor III Ikopin University Bandung; Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen GICI Business School, Depok
Copyright © ANTARA 2024