Jakarta, 15/2 (Antara) - Nama Tunisia sebagai sebuah negara di Jazirah Arab atau tepatnya di kawasan Afrika Utara sudah cukup terkenal di Indonesia, lebih-lebih pada saat bulan suci Ramadhan karena ada jenis buah kurma yang lezat untuk berbuka puasa asal negara itu dijual di pasar.
Beberapa tahun terakhir nama Tunisia juga tersohor karena terkait dengan "Arab Spring" yang mengacu kepada suatu keadaan dimana rakyat yang tidak merasa puas dan tertindas berontak melawan pemerintah berkuasa dan menuntut perubahan.
Arab Spring sesungguhnya telah dimulai di Tunisia pada Desember 2010, lalu meluas ke Libia, Mesir, Bahrain, Suriah, Jordania, Maroko, Aljazair, Yaman, Irak, dan Oman.
Namun Kedutaan Besar Tunisia di Jakarta mempromosikan negaranya lewat acara budaya dan peradaban yang sama sekali tak terkait dengan Arab Spring.
Selama 10 - 12 Februari lalu, Kedutaan Tunisia menggelar "The Tunisian Culture Days in Jakarta" di Taman Ismail Marzuki.
Acara itu diawali dengan pembukaan pameran kuliner Tunisia, pameran lukisan dan pemutaran film pendek berjudul "Tiraillement (Twinge) yang disutradari Najwa Slama.
Tunisia memiliki sejumlah pelukis terkenal dengan berbagai aliran sebut saja Ammar Farhat, Yahia Turki, Jelel Ben Abdallah, Abdelaziz Gorgi dan Ali Bellagha, kemudian disusul oleh generasi pelukis muda seperti Ahmed Hajjeri, Rachid Fakhfakh, Lamine Sassi, Raouf Karray, Meryem Baourderbala dan Feryal Lakhdar.
Gerbang
Dalam kata pengantarnya, Duta Besar Tunisia Mourad Belhassen mengatakan kebudayaan selalu menjadi gerbang bagi orang-orang untuk dapat saling lebih memahami dan berempati satu sama lain.
Menurut dia, Tunisia memiliki sejarah panjang, budaya dan peradaban lebih dari 3000 tahun.
"Kami ingin menunjukkan budaya dan kreativitas para seniman dan artis kami melalui acara ini," kata Belhassen.
Dikusi tentang sejarah gerakan feminis di Tunisia menjadi daya tarik untuk mengetahui bagaimana perjuangan kaum wanita Tunisia melestarikan hak-hak emansipasi mereka dan membangun sebuah negara menjadi Tunisia saat ini.
Ny. Houda Zaibi Belhassen, istri Dubes Belhassen, merupakan dosen di Institut Superieur des Langueas de Tunis (ISLT) Universitas Tunis, menjadi nara sumber dalam diskusi tersebut.
Tunisia yang berpenduduk 10 juta jiwa itu selalu berada di garis depan dalam perubahan legislasi terkait kaum wanita di Dunia Arab Muslim. Negara ini telah melaksanakan legislasi jender pada tahun 1950-an setelah kemerdekaannya.
Selain menikmati lukisan, menonton film dan menghadiri diskusi, para pengunjung dapat membaca buku-buku promosi tentang daerah-daerah tujuan wisata di negara itu.
Di bagian selatan Tunisia, wisatawan tidak pernah akan merasa seperti berada di tengah-tengah gurun pasir Sahara. Berbagai fasilitas untuk mendukung pariwisata di negara itu tersedia lengkap. Di tempat seperti Ksar Ghilane yang banyak ditemukan oase, misalnya, wisatawan dapat mandi, bersantai, duduk di bawah pohon rindang dengan suara-suara merdu burung-burung berkicau.
Di wilayah itu juga ditemukan tempat-tempat yang memiliki bangunan kuno, pasar tradisional dan piknik di padang pasir.
Bagi mereka yang menyukai sejarah kuno beserta peninggalannya dan jelajah, bagian tengah dan barat Tunisia memberikan jawaban untuk memenuhi rasa ingin tahu. Di antara yang paling terkenal tempat yang bernama Sbeita, jangan sampai lupa untuk dikunjungi.
Merasa ada yang masih kurang dalam acara ini, Dubes Belhassen merencanakan untuk menyelenggarakan acara budaya Tunisia pada tahun mendatang dengan mengundang musisi Tunisia untuk konser sehingga acara akan tambah asyik.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014