Dengan kata lain, UU Sisnas P3 Iptek menjadi tidak efektif,"
Jakarta (ANTARA News) - UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilimu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek) yang dikeluarkan sebagai usaha melakukan lompatan dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dalam penguasaan iptek dipertanyakan efektivitasnya.
Pertanyaan itu muncul setelah sedikitnya 12 tahun hadir dan sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi birokrasi pendidikan yang juga mencakup UU ini.
Dalam UU ini disebutkan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang. Secara khusus perguruan tinggi dinyatakan sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sisnas P3 Iptek dan berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tapi kenyataannya perguruan tinggi berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya di luar jangkauan Kementerian Riset dan Tekonologi.
"Oleh sebab itu, mudah dipahami jika terjadi diconnected antara grand design pengembangan riset dan teknologi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi dengan program riset yang dikembangkan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Kesra, Prof. Dr. R. Agus Sartono dalam wawancara di Jakarta baru-baru ini.
"Dengan kata lain, UU Sisnas P3 Iptek menjadi tidak efektif."
Menurut dia, di sinilah pentingnya mengatasi disharmoni program antarkementerian dan lembaga yang berujung pada rendahnya kemampuan inovasi dan kesiapan teknologi serta berdampak pada daya saing bangsa serta ketahanan nasional.
Pendidikan tinggi di Indonesia dewasa ini telah memasuki suatu era kompetitif yang penuh tantangan karena adanya perubahan yang cepat.
Tantangan dan persaingan yang ketat di era global menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang kompeten dalam menjawab setiap permasalahan sekaligus memanfaatkan kesempatan yang ada.
Pengalaman negara-negara lain yang lebih maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, atau China, menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan perguruan tinggi yang berkualitas berkorelasi secara signifikan dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia secara keseluruhan yang pada akhirnya membentuk kompetensi bangsa yang tinggi dalam persaingan global.
Dari Tri Darma Perguruan Tinggi yang terdiri atas Pengajaran, Penelitian/Riset dan Pengabdian Masyarakat, aspek penelitian masih belum menjadi budaya bagi sivitas akademika di Indonesia.
"Hasil riset kita masih belum mengarah pada inovasi yang berorientasi pada pemanfaatan oleh pihak industri," kata Dr Arisman, dosen FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Hasil riset yang memenuhi kebutuhan industri merupakan tantangan yang mesti dijawab oleh para peneliti di Indonesia. Riset yang hanya berorientasi publikasi ternyata memang masih mendominasi saat ini. Sementara riset yang berorientasi pada produk yang dipatenkan dan dapat dikomersialisasikan masih sangat rendah.
"Tantangan ke depan bagi setiap peneliti atau kelompok peneliti telah memiliki peta jalan yang mengacu pada kebutuhan industri. Secara umum, jumlah dosen melaksanakan penelitian perlu ditingkatkan," katanya.
Data beberapa tahun terakhir keterlibatan dosen meneliti masih di bawah 30 persen Artinya, riset belum menjadi kegiatan utama dan bersinambungan bagi setiap dosen di Indonesia.
"Oleh karena itu dosen-dosen yang berkualitas tentu saja sangat penting sehingga perlu diciptakan kondisi kerja yang baik.Penciptaan kondisi ini penting untuk meningkatkan semangat kerja," kata Arisman.
Pendanaan jadi tantangan
Dana adalah hal penting bagi perguruan tinggi. Dana ini tidak hanya diperlukan untuk setahun atau dua tahun. Ketersediaan dana itu harus konsisten dan bersifat jangka panjang. Dana ini tidak saja untuk tetap melakukan aktivitas penelitian dan pengajaran rutin saja tetapi juga untuk terus menumbuhkan riset.
Pendanaan merupakan tantangan khusus di lingkungan perguruan tinggi karena di banyak negara pemerintah mengurangi atau bahkan menarik pendanaan rutinnya dari perguruan tinggi. Tanpa kemampuan penggalangan dana yang baik, sulit mengembangkan pendidikan tinggi agar dapat bersaing di dunia internasional.
"Ketersediaan dana yang melimpah adalah ciri sebuah universitas yang dapat bersaing, karena tanpa dana yang memadai kegiatan ilmiah yang berkualitas tinggi tidak akan bisa dijalankan," kata Arisman yang juga direktur eksekutif Asa Nusa Foundation.
Universitas-universitas kelas dunia biasanya memiliki tiga sumber dana, yaitu : (1) pemerintah, untuk dana operasional dan riset, (2) dana riset kontrak dengan perusahaan negara dan swasta, (3) pendapatan sendiri, dari sumber SPP mahasiswa dan dana abadi (endowment) dan dana hibah.
Di Asia, National University of Singapore (NUS) mempunyai dana abadi tertinggi sebesar 774 juta dolar yang didapatkan dari pengumpulan dana dari banyak pihak.
Lebih jauh Agus mengatakan tiga tahun terakhir secara terus-menerus bangsa Indonesia menghadapi kelemahan di bidang innovation, technological readiness dan research and higher education. Ketiga masalah tersebut pada dasarnya disebabkan karena ketiadaan penjajaran (alignment) antara pendidikan tinggi dan riset.
"Kementerian Ristek sebagai penanggung jawab sistem pengemabangan riiset nasional tidak mampu menjangkau pendidikan tinggi sebagai tulang punggung pengembangan ilmu pegetahuan dan teknologi," katanya.
Oleh karena itu, tanpa menambah kementerian, Kemen Ristek dikembangkan menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Tekonologi.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi dapat memberikan penugasan kepada perguruan tinggi untuk melakukan riset dasar unggulan berkelanjutan. Dari sisi perguruan tinggi, hibah riset juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong program doktor sekaligus menjawab rendahnya publikasi di jurnal ilmiah. "Tentu saja semua ini memerlukan blue book research nasional berjangka panjang," kata Agus. (*)
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014