Selain itu, juga berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan....
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyatakan dampak disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dengan pasal tembakau pada industri, akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha industri hasil tembakau (IHT).

Menurut Direktur P3M KH Sarmidi Husna banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan tar dan nikotin, akan membuat IHT nasional gulung tikar.

"Kretek yang menjadi produk IHT nasional menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Kalau dibatasi dan dilarang, yang terkena dampak terlebih dahulu industri kretek nasional," katanya melalui keterangannya di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa RPP Kesehatan akan segera disahkan dalam waktu dekat.

Menanggapi itu, Sarmidi mengatakan sebelum adanya RPP Kesehatan pun, IHT sudah kepayahan karena kebijakan fiskal yang eksesif. Sejak tahun 2020, tarif cukai hasil tembakau selalu naik dua digit. Padahal, di saat bersamaan, IHT tertekan karena pandemi COVID-19 dan disusul situasi dunia yang tidak pasti.

Situasi IHT legal saat ini terus terpuruk yang terkonfirmasi melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target, begitu juga produksi rokok turun.

Dengan kondisi itu, katanya pula, pemerintah perlu memberikan peluang untuk pemulihan, dengan cara, tidak ada kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025, karena sudah ada kenaikan tarif PPN terhadap hasil tembakau.

"Sedangkan untuk tahun 2026 dan tahun berikutnya, kenaikan tarif cukai HT disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi," ujarnya pula.

Dengan tambahan RPP, tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP, seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang costnya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat.

Dia mengatakan, IHT telah diatur melalui 446 regulasi yang mana 400 (89,68 persen) itu berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.

Menurut Sarmidi, selama pembahasan RPP pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal Pengamanan Zat Adiktif tidak melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang.

P3M, katanya pula, meminta Menteri Kesehatan agar mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draf RPP Kesehatan yang ada, karena bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, UU Perkebunan, dan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Selain itu, juga berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan," katanya lagi.

Menurut dia, pasal-pasal terkait produk industri hasil tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Kesehatan.
Baca juga: Menkes harap PP aturan turunan UU Kesehatan disahkan bulan ini
Baca juga: Aparsi: Partisipasi penting agar aturan tembakau tak tuai pro-kontra

Pewarta: Subagyo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024