"Dalam sidang kasus anak gugat ibu kandung di Karawang, saya kira hakim cukup objektif dan perkara itu murni kasus pidana,"
Karawang (ANTARA) - Ahli hukum pidana dari Universitas Sehati Indonesia (Usindo) Kabupaten Karawang, Jabar menilai kasus anak gugat ibu kandung yang tengah ditangani Pengadilan Negeri Karawang murni kasus pidana karena berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan.

"Dalam sidang kasus anak gugat ibu kandung di Karawang, saya kira hakim cukup objektif dan perkara itu murni kasus pidana," kata ahli hukum dari Usindo, Eigen Justisi, dalam keterangannya di Karawang, Rabu.

Ia menyampaikan bahwa sejak awal mendengar dan mengikuti persoalan kasus ibu dan anak tersebut, memang banyak pendapat yang pro dan kontra dengan perkara tersebut.

"Iya kalau saya memang mengikuti dari awal. Ini kan kasus pidana, si anak ini melaporkan ibunya karena terkait pemalsuan tanda tangan," kata dia.

Ia menyebutkan, dalam kasus tersebut banyak masyarakat yang pro dan kontra dengan duduk perkaranya. Sehingga seolah-olah kasusnya merupakan kasus anak menggugat ibunya karena warisan, padahal kalau mau menggugat warisan, konstruksi hukumnya berbeda, dan gugatannya sudah pasti perdata, bukan pidana.

Dalam kasus tersebut, seorang anak yang bernama Stephanie Sugianto melaporkan ibu kandungnya Kusumayati ke Polda Jabar hingga akhirnya kasus itu berlanjut ke persidangan di Pengadilan Negeri Karawang. Sang anak melaporkan ibunya karena tidak terima tanda tangannya dipalsukan dalam surat keterangan waris (SKW).

Kasus tersebut bermula pada saat Sugiono, ayah kandung dari Stephanie meninggal pada 6 Desember 2012. Sugiono ini merupakan suami dari Kusumayati, warga Kelurahan Nagasari, Kabupaten Karawang.

Setelah sang ayah meninggal, Stephanie terpaksa melaporkan sang ibu Kusumayati, pada tahun 2021, karena tanda tangan-nya diduga dipalsukan oleh Kusumayati, dalam Surat Keterangan Waris (SKW) tertanggal 27 Februari 2013.

Eigen menyampaikan, setelah menelaah duduk perkara dalam kasus tersebut, pelapor mengadukan terlapor dengan sangkaan pasal 263 ayat (1) KUHP. Sehingga dalam proses perkaranya, pelapor tidak menyinggung persoalan warisan.

"Ini pasalnya tetap 263, kalau pelapor ini niat menguasai warisan tentu salah, justru sebenarnya konteks dari persoalan ini lebih kepada motif. Apa sebenarnya motif terdakwa memalsukan tandatangan korban, dan apa sebenarnya motif korban melaporkan terdakwa. Ini yang sama-sama kita tidak tahu, dan hakim harus jeli terhadap itu," kata dia.

Selama berjalannya persidangan, Eigen menilai bahwa majelis hakim cukup hebat, karena mengarahkan persoalan ini kepada penyelesaian pribadi dalam keluarga.

"Selama ini saya ikuti majelis hakim ini hebat, dia kan pengadil sebetulnya tidak berpihak kepada ibu atau anak. Bahkan saya dengar kemarin sempat mediasi, ini upaya yang tepat untuk kasus tersebut, karena menyangkut pemulihan hubungan baik antara ibu dan anak," kata dia.

Ia juga menyampaikan bahwa dalam menangani perkara itu, majelis hakim juga harus tetap objektif dalam menangani perkaranya, bahkan hakim seharusnya bisa menelaah latar belakang dari korban dan terdakwa atas pelaporan kasus ini, agar menghasilkan putusan yang seadil-adilnya.

"Iya tentu hakim harus objektif, dan kalau bisa harus tahu nih apa motif kedua belah pihak dalam kasus ini. Supaya menghasilkan putusan yang seadil-adilnya," kata dia.

Sementara itu, Stephanie menempuh jalur hukum terkait dugaan pemalsuan tanda tangan dalam Surat Keterangan Waris (SKW) tertanggal 27 Februari 2013.

Surat itu dibuat di Kelurahan Nagasari, Kecamatan Karawang Barat dan notulen RUPSLB PT EMKL Bimajaya Mustika.

Saat ini kasus tersebut masih ditangani Pengadilan Negeri Karawang. Selain menyelesaikan melalui persidangan, majelis hakim juga membuka ruang perdamaian bagi kedua pihak agar menyelesaikan persoalannya secara kekeluargaan. 

Pewarta: M.Ali Khumaini
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024