Semarang (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara) Jakarta St. Laksanto Utomo mengingatkan Pemerintah agar jangan sampai mengabaikan eksistensi hukum adat sebagai hukum asli Indonesia.
"Seyogianya hindari pemikiran bahwa hukum adat bersifat tradisional dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman," kata Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. pada seminar bertema Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pembangunan Hukum Nasional yang Progresif dan Responsif di kampus Universitas Semarang (USM), Jawa Tengah, Rabu.
Baca juga: Upaya kalangan akademikus menjaga masyarakat hukum adat
Seminar secara hybrid (daring Zoom dan luring di Ruang Teleconference Menara Prof. Muladi Lantai 8) yang diselenggarakan Fakultas Hukum USM ini dalam rangka Dies Natalis Ke-37 sekaligus pemenuhan tridarma perguruan tinggi.
Pengabaian negara dan pemerintah terhadap eksistensi hukum adat sebagai hukum asli Indonesia, kata Prof. Laksanto, salah satunya disebabkan pemikiran bahwa hukum adat bersifat tradisional dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.
Prof. Laksanto lantas mencontohkan penggusuran terhadap masyarakat hukum adat sebagai dampak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, kemudian penggusuran masyarakat hukum adat Rempang untuk kepentingan investor.
"Itu hanya merupakan contoh kecil dari sekian banyak kasus serupa," kata Prof. Laksanto yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia.
Menurut dia, terjadinya penggusuran terhadap masyarakat adat dari tanah ulayatnya adalah bukti nyata dan konkret pengabaian negara dan pemerintah terhadap keberadaan hukum adat di Bumi Nusantara.
Baca juga: Pakar: Hari Kehakiman momentum MA menengok kembali hukum lokal
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum USM Dr. Amri P. Sihotang, S.S., S.H., M.Hum mengemukakan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda.
Perbedaan ini, kata Dr. Amri, disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda. Pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan, baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.
Oleh karena itu, kata Amri, setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan maka hukum pun selalu ada dalam masyarakat dan tampil dengan kecirikhasan masing-masing.
Amri mengutarakan bahwa setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda karena kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat ataupun kondisi geografis dalam arti luas.
Pemateri lain, ahli hukum adat dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Prof. Dr. Dra. M.G. Endang Sumiarni, S.H., M.Hum. menyoroti peradilan adat yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Namun, kata dia, pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.
Baca juga: APHA: Perlu ada aturan jelas penyelesaian kasus delik adat
Baca juga: Tokoh: Realisasi UU masyarakat adat perlu jadi fokus pemimpin terpilih
Baca juga: BRIN: Hukum pengakuan masyarakat adat perlu dalam pembangunan IKN
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024