Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK menyatakan Komisi Yudisial bukan lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi.
"Apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan," kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan pertimbangan hukum putusan pengujian UU Penetapan Perppu MK di Jakarta, Kamis.
Menurut Harjono, dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di mana pun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benar oleh lembaga negara yang lain.
"Alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court," katanya.
Harjono mengatakan kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin sebagai hak azasi manusia namun dalam hubungannya dengan kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas, bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang.
Tentang keterlibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam UU nomor 4 tahun 2014 ini, Harjono mengatakan bahwa "checks and balances" adalah mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.
"Dalam praktik ketatanegaraan seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak veto oleh presiden terhadap undang-undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan," kata Harjono.
Prinsip utama yang harus dianut negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman.
"Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum," katanya.
Dalam negara hukum, lanjut Harjono, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.
"Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang," jelasnya.
Hakim Konstitusi ini juga mengungkapkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
"Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum," tegasnya.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014