Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menegaskan Indonesia memerlukan strategi untuk mendukung perkembangan kesenian secara berkelanjutan sehingga menjadi kekuatan dalam negeri sebagai industri kreatif maupun "soft power" pengangkat derajat bangsa.
"Sudah waktunya kita mempunyai strategi untuk mendukung perkembangan kesenian Indonesia termasuk pemberian insentif," katanya di Jakarta, Rabu, dalam acara The Art of Giving Fasilitasi Dunia Usaha untuk Seni Pertunjukan.
Menurut dia, kesenian sangat potensial untuk bisa menjadi kekuatan, sebagai basis industri kreatif yang mampu menyejahterakan masyarakat.
Selain di luar nilai ekonomi, kata dia, kesenian memiliki "soft power" untuk mengangkat derajat suatu bangsa.
"Kami harapkan dukungan yang berkelanjutan dan komprehensif untuk kesenian tidak saja harus dari pemerintah tetapi di banyak negara lain datang dari kerja sama dan kemitraan pemerintah dengan swasta dan masyarakat," katanya.
Dukungan itu, kata dia, diharapkan tidak saja dalam bentuk finansial tetapi banyak cara lain untuk memberikan dukungan yang diperlukan.
Pihaknya mencatat industri kreatif terkait seni rupa nilainya mencapai Rp2 triliun dan seni pertunjukan Rp2,6 triliun, dengan pertumbuhan masing-masing empat persen dan 6,9 persen pada 2013.
Secara keseluruhan sektor ekonomi kreatif dengan 15 sub sektor mengalami pertumbuhan 5,76 persen atau sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,74 persen.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pembina Koalisi Seni Indonesia Goenawan Mohamad mengestimasikan sudah terjadi penurunan jumlah kelompok atau organisasi seni budaya yang pada 2000 ada sekitar 3.800 turun menjadi 2.400 pada 2004.
Sepuluh tahun kemudian atau pada 2013 kemungkinan hanya tinggal 1.000 kelompok kesenian.
Menurut dia, menurunnya jumlah kelompok kesenian itu, antara lain karena kurangnya dukungan dana dan sumber daya lainnya.
"Dalam kesenian ada dua hal, yakni yang bisa dikomersialkan misalnya karya musikal Broadway atau Laskar Pelangi dan yang kedua hal yang tidak bisa dikomersialkan," katanya.
Hal yang tidak bisa dikomersialkan itu termasuk di dalamnya adalah proses menuju produk kesenian itu sendiri yang selama ini justru dinilainya luput dari perhatian.
"Kita pernah punya sekolah kesenian terintegrasi TIM atau museum sinematex pertama di Asia sebelum Jepang. Itulah saya pikir yang kita butuhkan saat ini yakni membiayai proses sebelum produksi," katanya.
Ia mengatakan proses sebelum produksi merupakan suatu hal yang tidak menarik dan tidak bisa dikomersialkan tetapi sangat penting untuk didukung.
Goenawan mencontohkan, laboratorium medis yang meneliti tentang DNA tidak menarik untuk dikomersialkan, tetapi dari situlah akan dihasilkan produk riset yang dibutuhkan seluruh umat manusia.
Pihaknya sangat berharap ada strategis dan langkah untuk mengembangkan kesenian secara lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014