Beijing (ANTARA News) - Polisi China menahan seorang lelaki, yang menyebabkan kepanikan dengan menyebar rumor mengenai kemunculan virus flu burung di wilayah tempat tinggalnya, kata laporan media pemerintah pada Rabu.
Kabar angin seringkali menyebar di media sosial China, sebagian akibat meluasnya keyakinan bahwa pemerintah sering menutup-nutupi berita buruk, sementara media pemerintah tidak dapat dipercaya.
Lelaki itu hanya disebut dengan nama panggilan Zhou dari provinsi Hubei, mengunggah isu itu sepanjang pekan lalu lewat media populer Wechat, kata kantor berita Xinhua.
"Tulisan itu menyebar luas di antara warga dan menimbulkan kepanikan publik," demikian seperti dikutip dari Xinhua, dan menambahkan pejabat kesehatan Hubei telah membantah isu tersebut karena provinsi itu belum melaporkan adanya kasus flu burung H7N9 pada manusia.
Xinhua melaporkan, dalam tulisannya Zhou mengatakan, "Seorang dokter dari rumah sakit umum Yichang meninggal karena H7N9 pada pukul 04.21 kemarin."
Dokter berusia 31 tahun tersebut hamil, tambah dia, sehingga menambah sentuhan dramatis.
"Seorang bayi masih ada dalam perut ibunya dan para dokter yang ikut dalam penanganan darurat itu sudah di karantina," katanya.
"Kasus ganda infeksi H7N9 pada manusia juga ditemukan di wilayah lain di provinsi itu," ujarnya.
China melaporkan lebih dari 120 kasus H7N9 pada manusia tahun ini, termasuk 31 kasus meninggal.
Pemerintah sebelumnya berupaya untuk menyembunyikan terjadinya wabah Sindrom Pernafasan Akut (SARS) yang muncul di China pada 2002 dan menewaskan sekitar satu dari 10 orang, dari 8 ribu orang terinfeksi di seluruh dunia.
China meluncurkan kampanye untuk mengendalikan diskusi online tahun lalu, mengancam akan mengenakan tindakan hukum atas mereka jika tulisannya yang dianggap sebagai rumor diunggah ulang secara meluas.
Pihak berwenang mengatakan langkah itu diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah menyebarnya berita tak benar yang bisa menyebabkan kepanikan.
Kelompok hak asasi manusia dan para pembangkang mengkritik langkah tersebut sebagai cara lain bagi Partai Komunis yang berkuasa untuk membatasi kritikan terhadap dirinya dan terus mengekang kebebasan berekspresi, demikian laporan AFP.
(S022)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014