"Masa depan AI memang penuh dengan ketidakpastian... "
Shanghai (ANTARA) - Saat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bersiap membawa perubahan besar di dunia dan mengantarkan era yang penuh dengan kemajuan signifikan serta tantangan luar biasa, banyak pertimbangan harus dicurahkan dalam tata kelola teknologi baru ini.

Guna memastikan AI bekerja untuk kepentingan semua bangsa, tribalisme teknologi dan mentalitas Perang Dingin yang sudah ketinggalan zaman harus diganti oleh paradigma kerja sama dan keterbukaan yang mendorong persatuan global dan kemakmuran bersama.

Filosofi ini merupakan inti dari upaya China untuk membentuk tata kelola AI yang baik.

Pada pekan ini, dunia menyaksikan pengadopsian resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pengembangan kapasitas AI, yang dipelopori oleh China, yang mengadvokasi representasi yang lebih luas dalam tata kelola AI dan lingkungan bisnis yang terbuka, adil, serta nondiskriminatif.

Dalam Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (World Artificial Intelligence Conference/WAIC) yang sedang berlangsung di Shanghai, dengan tema "Mengelola AI untuk Kebaikan dan untuk Semua" (Governing AI for Good and for All), China menegaskan kembali dedikasinya untuk membentuk ekosistem AI yang inklusif.

Hal itu merupakan sebuah komitmen yang mendapat pujian dari para audiens internasional, terutama yang berasal dari Global South.

China dan Amerika Serikat (AS), dua negara yang berada di garis depan revolusi AI, untuk pertama kalinya mengadakan pertemuan dialog antarpemerintah tentang AI di Jenewa pada Mei lalu.

Kedua negara telah mencapai konsensus dalam membangun kerangka kerja untuk mengarahkan kompleksitas lanskap digital yang berkembang pesat.

Namun eskalasi tindakan-tindakan AS untuk mengganggu kelancaran investasi, teknologi, dan talenta AI telah menghambat upaya kolaboratif yang sangat dibutuhkan.

Dunia saat ini menghadapi banyak tantangan, dengan perubahan iklim dan kejahatan transnasional masuk dalam daftar banyak tantangan yang membutuhkan respons internasional terpadu.

Tata kelola AI pun menjadi hal yang sangat mendesak, mengingat teknologi yang transformatif namun masih baru ini menghadirkan lanskap dengan lebih banyak risiko yang tidak diketahui.

Membangun aliansi AI eksklusif untuk mempertahankan dominasi teknologi jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang selama ini telah mendorong kesuksesan AI, termasuk open source dan iterasi cepat (rapid iteration), serta merongrong tata kelola AI yang baik.

Selain itu, hegemoni teknologi yang didorong motif geopolitik juga menimbulkan risiko lainnya, mengingat hal ini membuat sebagian besar negara berkembang semakin tertinggal di era AI, sehingga memperparah kesenjangan yang telah menjangkiti dunia kita.

Demi mencegah momok ini di masa depan, China meluncurkan Inisiatif Tata Kelola AI Global pada Oktober 2023 lalu, yang menggarisbawahi dukungannya bagi gagasan "AI untuk Kebaikan" dalam kerangka kerja PBB.

Banyak negara Global South bergulat dengan tantangan yang signifikan, seperti pengumpulan data, kelangkaan sumber daya, dan infrastruktur yang kurang berkembang, yang menghambat kapasitas mereka untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi transformatif AI dan membuat mereka tertinggal di pinggiran revolusi teknologi ini.

China telah melakukan banyak upaya untuk membantu negara-negara berkembang mengembangkan kapasitas terkait AI, memasang ratusan ribu kilometer serat optik dan jaringan nirkabel yang luas di Afrika.

Dalam sebuah forum di Xiamen pada April, China berjanji untuk membantu mempromosikan penyebaran teknologi AI di berbagai sektor di Afrika, termasuk pertanian, perawatan kesehatan, pendidikan, dan manajemen perkotaan.

Masa depan AI memang penuh dengan ketidakpastian.

Namun, memanfaatkan potensinya untuk kebaikan bersama dapat dilakukan jika negara-negara memilih untuk berkolaborasi dan mendukung inklusivitas, yang sangat dibutuhkan di dunia saat ini.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024