Kelompok radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum benar-benar hilang karena pemikiran dan cita-cita khilafah atau pendirian negara Islam yang sudah mengakar
Jakarta (ANTARA) - Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta Amir Mahmud mengingatkan masyarakat untuk tetap mewaspadai penyebaran radikalisme, karena eksistensi kelompok radikal belum sepenuhnya hilang.

Ia mengajak masyarakat untuk setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, dan Indonesia telah dipandang dunia sebagai model kehidupan masyarakat dengan beragam latar belakang.

“Jangan sampai NKRI ini diobok-obok, dirusak oleh para pendatang yang seringkali mengglorifikasi simbol keagamaan, nasab, dan sebagainya. Negara Indonesia bukan milik suatu kaum saja, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang setia pada konsensus bernegara,” kata Amir dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Jumat.

Amir mengatakan kelompok radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum benar-benar hilang karena pemikiran dan cita-cita khilafah atau pendirian negara Islam yang sudah mengakar serta tersedianya internet dan media sosial sebagai ladang subur bagi pergerakan mereka.

Menurutnya, militansi kader HTI yang terbentuk dari ideologinya sangat sulit untuk dihilangkan. Ideologi, kata dia, tidak bisa dihalangi oleh tempat atau waktu, sehingga ideologi memiliki resistensi tinggi untuk bertahan serta mampu menyebar dari satu orang ke orang yang lain.

Di samping itu, Amir menyebut HTI juga memiliki proses penggalangan atau pendekatan terhadap lapisan masyarakat tertentu, khususnya generasi muda, yang bertujuan memastikan ideologi khilafah akan terus bertahan walau zaman berganti.

Proses penggalangan tersebut, kata dia, biasanya diawali dengan mengemukakan narasi yang sedang menjadi tren sesuai dengan waktunya. Misalnya, ketika nilai tukar rupiah turun, HTI dan jaringannya akan melempar propaganda bahwa Indonesia gagal secara ekonomi.

Baca juga: PBNU harap masyarakat tak lengah dengan pergerakan kelompok radikal
Baca juga: BNPT: Gerakan terorisme bertujuan rebut kekuasaan sah


Ujungnya, mereka akan menawarkan konsep khilafah sebagai solusi universal seluruh permasalahan Indonesia. Amir menegaskan, simplifikasi tersebut tidak efektif menarik animo sebagian masyarakat untuk bergabung dengan kelompok radikal itu.

“Mereka (HTI) memiliki konsep tafa’ul ma’al ummah yang berarti ‘mendekatkan diri pada masyarakat.’ Bahan interaksinya pun sebenarnya bisa dengan mudah kita temukan di internet. Mereka akan menyoroti citra atau isu negatif Pemerintah Indonesia, lalu mengemasnya sebagai salah satu alasan kenapa sistem khilafah diperlukan,” jelas Amir.

Selain itu, organisasi terlarang kerap berganti nama sebagai upaya untuk menghilangkan jejak. Namun, berhantinya nama atau terpecahnya organisasi radikal seringkali tidak dibarengi dengan rotasi kader yang baik, sehingga nama-nama lama kembali muncul di organisasi yang baru.

Dijelaskan Amir, kelompok radikal telah banyak belajar dari kegagalan. Maka dari itu, pola pendekatan para kelompok dengan ideologi transnasional menjadi lebih humanis dan terlihat bersahabat dengan warga, seperti anggota kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang membaur dengan lingkungan tempat tinggalnya.

“Kelompok JI bisa masih aktif dan eksis di tengah masyarakat karena mulai menghaluskan pendekatannya. Mereka mulai mengadakan santunan terhadap warga sekitar, serta mengikuti kegiatan kerja bakti yang rutin dilakukan di beberapa wilayah. Sekilas, apa yang mereka lakukan ini adalah hal yang baik. Namun, perlu diingat bahwa perbuatan ini didasarkan pada ideologi mereka yang sudah mengakar dan kebutuhan akan eksistensi dari ideologi itu sendiri,” pesan Amir.

Lebih lanjut, ia berharap Indonesia bisa tetap resisten dari berbagai upaya destabilisasi yang gencar dilakukan, khususnya dari kelompok dan jaringan teror.

Menurutnya, masyarakat perlu bersyukur karena dinaungi Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara dan umat beragama.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024