Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI bertukar pikiran dengan Reclassering Nederland mengenai praktik baik dalam menerapkan sanksi alternatif sebagai pidana alternatif selain penjara.

Direktur Pembimbingan Kemasyarakatan dan Upaya Keadilan Restoratif Pemasyarakatan Pujo Harinto menilai kegiatan tersebut penting bagi aparat penegak hukum untuk beradaptasi terhadap perubahan paradigma hukum pidana.

"Saat ini terjadi perubahan paradigma dari penghukuman retributif ke reintegrasi sosial atau rehabilitatif. Tentu yang pertama kali dari aparat penegak hukum yang mengikuti perubahan prinsip hukum pidana tersebut di Indonesia. Setelah itu, barulah memberikan pemahaman ke masyarakat,” ujar Pujo sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.

Diskusi tersebut dilakukan dalam lokakarya Berbagi Praktik Baik dalam Sanksi Alternatif dan Kerja Sosial di Jakarta, Kamis (4/7). Pujo menyambut baik kegiatan lokakarya ini sebagai bentuk tindak lanjut atas sinergi yang telah terjalin antara Ditjen PAS, kejaksaan, dan pengadilan.

Lokakarya tersebut merupakan bagian dari program Peer to Peer for Justice Reclassering Nederland, bekerja sama dengan Center for International Legal Cooperation (CILC).

Reclassering Nederland merupakan lembaga yang memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan pelaksanaan putusan pidana kerja sosial, serta memberikan saran kepada jaksa dan hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana.

Sebagian peran Reclassering Nederland tersebut dinilai selaras dengan tugas dan fungsi pembimbing kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan (bapas) di Indonesia.

Baca juga: Menkumham sebut keadilan restoratif di KUHP atasi "overcapacity" lapas
Baca juga: Pakar: Hari Kehakiman momentum MA menengok kembali hukum lokal


Lebih lanjut Direktur Kerja Sama Internasional Reclassering Nederland Jochum Wilderman dalam lokakarya itu menjelaskan bahwa konsep pidana alternatif dapat dilihat dari Tokyo Rules.

Kesepakatan internasional tersebut, kata dia. menegaskan bahwa pidana alternatif terhadap pemenjaraan dapat efektif dan memberikan manfaat, baik bagi pelaku maupun masyarakat.

"Jaksa dan PK (pembimbing kemasyarakatan) di bapas bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar. KUHP baru di Indonesia berlaku pada tahun 2026, di dalamnya ada pidana alternatif seperti pidana pengawasan atau pidana kerja sosial yang dapat diterapkan," ujar Jochum.

Di sisi lain, Linda Biesot selaku pembimbing kemasyarakatan dari Belanda mengatakan bahwa pembimbing kemasyarakatan memiliki peran penting dalam membuat penelitian kemasyarakatan (litmas) karena mampu menganalisis masalah pribadi tersangka, termasuk risikonya.

Hasil litmas, kata dia, akan memberikan rekomendasi bagi efek hukuman dan kemungkinan pemberlakuan syarat khusus, termasuk pidana alternatif.

"Beberapa pidana syarat khusus yang diterapkan di Belanda, seperti pengawasan oleh bapas selama 2 tahun, perawatan di RS jiwa, rehabilitasi untuk kecanduan narkotika, intervensi perilaku sosial, perlindungan bagi korban, maupun monitoring secara elektronik," ucap Linda.

Selain Ditjen PAS, peserta lokakarya berasal dari perwakilan bapas di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, perwakilan hakim pengadilan tinggi di wilayah Jakarta, serta perwakilan kejaksaan tinggi di wilayah Jakarta.

Peserta berdiskusi dengan para narasumber mengenai kondisi pidana alternatif di Indonesia dan peluang penerapannya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024