Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mempertanyakan dasar hukum pembebasan bersyarat terpidana perkara narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby.
Ia mempertanyakan apakah pembebasan Corby yang didasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.21/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.99/2012.
"Apakah dalam kasus Corby Permen 21/2013 itu sudah dihadap-hadapkan dengan PP No.99/2012 tentang pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, narkotika dan terorisme," kata Bambang di Gedung DPR Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin boleh saja berpegang pada peraturan menteri yang dia buat asal peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah yang sudah ada.
"Kalau Permen melangkahi PP, tidakkah itu inskonstitusional?" kata Bambang, yang menengarai pembebasan bersyarat Corby tidak dilakukan dengan mengindahkan PP No.99/2012.
"Jangan-jangan, pembebasan bersyarat Corby sengaja tidak mengacu pada PP No.99/2012. Ironis, karena PP No.99/2012 itu justru digagas oleh Amir dan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Bagaimana bisa mengatakan bermartabat jika tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang dirancangnya sendiri," katanya.
Menurut Bambang, pembebasan bersyarat terpidana kasus narkoba seperti Corby berisiko tinggi.
"Pemerintah telah mempertaruhkan masa depan generasi muda bangsa, karena sangat kompromistis menghadapi anggota sindikat narkotika internasional," kata politisi Partai Golkar itu.
Ia juga menyayangkan pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin yang menyebut pembebasan Corby sebagai upaya penegakkan hukum tanpa pandang bulu sesuai peraturan yang berlaku.
"Kalau demi kemaslahatan rakyat dan negara, Corby mestinya tidak diperlakukan istimewa dan spesial. Dia harus menjalani sanksi hukum maksimal agar tumbuh efek jera bagi setiap WNA yang ingin membangun jaringan atau sel-sel perdagangan narkotika di Indonesia," ujarnya.
Ia juga mengutip data Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menunjukkan bahwa di Indonesia sekitar 50 orang tewas setiap hari karena mengonsumsi narkoba.
Riset BNN - Universitas Indonesia (UI) juga menemukan 3,8 juta orang atau 2,2 persen dari populasi penduduk tercatat sebagai penyalahguna narkoba dan negara harus mengalokasikan dana Rp 4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika.
"Data-data ini sudah membuat puluhan juta orang tua cemas setiap harinya, karena khawatir putera-puteri mereka terperangkap narkoba. Para ayah-ibu tahu betul bahwa anak-anak selalu berada dalam ancaman teror narkoba," katanya.
"Mengapa pemerintah tidak mau menghayati aspirasi para orang tua di negara ini? Mengapa juga pemerintah seperti enggan berada dalam satu barisan dengan rakyat dalam menyikapi kejahatan narkotika?" demikian Bambang Soesatyo.
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014