Jakarta (ANTARA) - Rembulan berputar mengelilingi Bumi pada lintasannya, sementara Bumi mengelilingi Matahari. Demikian pula jutaan manusia yang berhaji atau berumrah, berputar tujuh kali mengelilingi Ka'bah, tetapi tidak pernah dapat berhenti lama di depan Ka'bah. Manusia berputar mendekati-Nya, tetapi harus segera pergi menunaikan kewajibannya yang lain.
Ritual berjalan mengelilingi Ka'bah berlawanan arah jarum jam sebanyak tujuh putaran itu dikenal dengan tawaf.
Secara bahasa, menurut kamus Al Maany, tawaf bermakna berkeliling, berputar, dan mengembara.
Penulis lain sering menggambarkan tawaf bagaikan benda-benda langit yang mengorbit pada lintasannya mengelilingi pusatnya sebagai sunatullah.
Saat tawaf mengelilingi Ka'bah, bibir jutaan manusia tak henti-hentinya bergerak dalam alunan dzikir dan berdoa.
Manusia berdoa bersama-sama dipimpin kepala rombongannya. Ada pula yang berdoa sendiri. Beberapa ada yang merasa cukup melantunkannya dalam hati.
Buku-buku manasik haji, bahkan menyediakan beragam doa yang berbeda-beda di setiap putaran tawaf.
Ada pula yang cukup melantunkan dzikir dan doa sederhana yang diingatnya. Ibadah haji dan umrah memang merupakan ibadah fisik yang memberi ruang pada manusia berdoa berdasarkan kemampuannya dan keinginannya.
Kiai, ustadz, yang paham Bahasa Arab, hingga orang awam, dapat melaksanakan tawaf, sesuai kemampuannya.
Bermiliar manusia melantunkan doa. Terdapat empat doa yang paling sering terdengar terucap dari bibir jamaah, yaitu doa memohon ampunan, doa memohon kebaikan di dunia dan akhirat, memohon dimasukkan menjadi ahli surga, dan memohon dijauhkan dari azab neraka. Selebihnya setiap manusia berdoa sesuai dengan permintaan spesifik masing-masing.
Saat tawaf, beberapa orang berhasil menyentuh dinding Ka'bah, yang lain dapat mencapai Multazam, serta ada pula yang berhasil mencium Hajar Aswad.
Dari jutaan orang itu, hanya segelintir saja yang berhasil karena sangat berdesak-desakan dan berebutan.
Upaya menyentuh dinding Ka'bah, Multazam, dan Hajar Aswad memang terbatas, sehingga menjadi momen langka yang tidak semua jamaah mampu melakukannya.
Dari pengalaman tiga kali tawaf di waktu berbeda di depan Ka'bah, paling tidak ada empat kelompok orang yang mampu mencapai tiga momen langka tersebut.
Pertama, orang-orang yang sengaja tawaf dengan mengambil jarak dengan Ka'bah atau di lantai atas untuk menghindari terlalu berdesak-desakan.
Mereka sengaja mengambil jarak karena menyadari keterbatasan fisik, risiko, atau memberi kesempatan pada yang lain untuk mendekat dengan Ka'bah.
Kedua, kelompok yang berjuang mendapatkan momen langka tersebut dengan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi, sehingga mendapatkan kesempatan berdoa di tempat langka tersebut.
Mereka menggunakan kekuatan fisiknya untuk mendorong atau menarik orang lain agar mendapatkan momen langka berdoa di tempat yang suci.
Ketiga, kelompok yang terbawa arus tawaf, sehingga tanpa disadari mampu mencapai dinding Ka'bah, Multazam, dan Hajar Aswad atau salah satu dari ketiganya.
Mereka biasanya berjalan mengikuti arus pergerakan manusia yang tawaf dan semakin lama semakin mendekat.
Keempat, kelompok yang hampir mencapai ketiganya, tetapi di akhir pencapaiannya malah memberi kesempatan tersebut kepada kakek, nenek, atau orang-orang lemah yang kebetulan berada di sampingnya.
Tentu, kelompok mana yang terbaik dari keempatnya, hanya Allah yang tahu. Keempat kelompok itu menggambarkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari seringkali manusia menjadi kelompok pertama, kedua, ketiga, dan keempatnya secara bergonta-ganti, tergantung konteks, suasana hati, dan keputusan yang dipilih.
Hanya saja, respek mendalam perlu kita sampaikan pada kelompok keempat. Sikap mereka mengingatkan pada kisah-kisah sufi terkenal di masa silam tentang orang yang mengumpulkan uang untuk naik haji, tetapi ketika semua sudah terkumpul dan bersiap berangkat, kemudian membatalkan.
Uang untuk naik haji itu diberikan kepada yang lebih membutuhkan, seperti fakir miskin di sekitarnya atau diberikan kepada orang lain yang juga ingin naik haji.
Dalam tradisi timur, kisah di atas mengingatkan pada cerita Yudhistira, kakak tertua Pandawa. Ia menolak masuk ke swargaloka lantaran anjing yang selama ini setia menemani dilarang menyertai masuk ke swargaloka.
Yudhistira juga menolak tinggal di swargaloka ketika mengetahui adik-adiknya justru berada di neraka. Pada akhirnya itu semua adalah ujian pengorbanan bagi Yudhistira, sehingga semua dapat berkumpul di swargaloka.
Kembali kepada orang-orang yang telah memberi fasilitas kepada orang lain untuk berhaji dan menyentuh Ka'bah. Orang-orang tersebut telah naik haji sebelum berhaji.
Mereka telah menyentuh Ka'bah tanpa memegang dinding Ka'bah. Mereka telah mabrur sebelum berhaji. Mereka telah menemukan Tuhan dalam hatinya. Mereka selalu berdzikir dalam setiap embusan napas yang mengalir dan berputar setiap detik mengitari (tawaf) qalbunya.
Sepulang berhaji, tawaf yang hakiki adalah berdzikir dan berdoa pada Allah di setiap denyutan napas.
Di setiap denyutan itu udara mengalir mengisi dan keluar dari paru-paru. Udara yang mengandung oksigen juga terlarut dalam darah manusia yang berputar melewati pembuluh darah.
Demikian pula saat tawaf di depan Ka'bah, setiap orang yang telah menyelesaikan tujuh putaran, harus pergi menunaikan tugas-tugas berikutnya.
Para haji yang telah kembali ke Tanah Air masing-masing terus bertawaf di dalam hati seraya menunaikan tugas masing-masing.
Para haji mabrur bertugas di bidangnya masing-masing sambil berdzikir di setiap embusan napasnya. Dengan demikian tawaf secara fisik memang mengitari Ka'bah dan tawaf secara substansi di dalam hati.
*) Destika Cahyana adalah anggota Majelis Amanah DPP GEMA Mathla'ul Anwar; PPIH Arab Saudi 2024
Copyright © ANTARA 2024