"Waktunya sudah hampir habis bagi pemerintah Filipina untuk berusaha memberikan ganti rugi dan pengakuan kepada para perempuan ini.... "
Manila (ANTARA) -  Seorang senator Filipina pada Rabu (3/7) mendesak Pemerintah Filipina agar memenuhi janjinya untuk memberikan "kompensasi yang adil dan bermakna" bagi para wanita Filipina yang dipaksa bekerja di rumah-rumah bordil pada masa perang Jepang.

Senator Risa Hontiveros mengatakan saat ini hanya ada 18 mantan "wanita penghibur" Filipina yang masih hidup di negara itu, dan sudah waktunya untuk memberikan kompensasi kepada mereka dan keluarga mereka.

"Waktunya sudah hampir habis bagi pemerintah Filipina untuk berusaha memberikan ganti rugi dan pengakuan kepada para perempuan ini," katanya.

Hontiveros menegaskan kembali seruannya usai mengadakan pertemuan dengan organisasi nirlaba Malaya Lolas (Free Grandmothers), yang terdiri dari para penyintas perbudakan seks asal Filipina.

"Para Lolas (nenek) ini tidak dapat menunggu lebih lama lagi," kata Hontiveros, seraya menambahkan bahwa pemerintahan Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos "harus menepati janjinya untuk memberikan bantuan dan pertolongan" kepada para korban.

Hontiveros juga mengunjungi Bahay na Pula, tempat yang digunakan oleh tentara Jepang untuk melakukan kekerasan seksual.

Dia menyatakan harapannya bahwa pemerintah akan memugar rumah tersebut dan menjadikannya sebagai monumen peringatan bagi para korban dan penyintas kekerasan seksual pada masa perang.

Hontiveros juga mendesak Pemerintah Filipina untuk mencari patung "wanita penghibur" yang hilang pada 2019. Jepang memprotes pemasangan patung tersebut di jalan di depan Teluk Manila pada Desember 2017 dan menuntut agar patung itu diturunkan.

Patung perunggu setinggi 2,1 meter itu, yang menggambarkan seorang wanita berbusana tradisional Filipina yang sedang berduka dengan mata tertutup kain, kemudian diturunkan pada April 2018.

Hontiveros, yang menyusun undang-undang yang menentang kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual, telah mengajukan resolusi yang mendesak pemerintah untuk memastikan kompensasi yang adil dan bermakna diberikan kepada para "wanita penghibur" Filipina dan keluarga mereka.

Undang-undang tersebut diajukan setelah komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkritik Filipina terkait penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Panel PBB mengatakan bahwa Filipina gagal memenuhi kewajiban perjanjiannya di bawah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan tidak mengupayakan ganti rugi bagi para "wanita penghibur". 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024