Merubah paradigma itu tidak mudah karena menjadi tantangan
Jakarta (ANTARA) - Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dalam upaya mempercepat dekarbonisasi industri lewat penerapan ekonomi sirkular menyoroti tiga tantangan utama yang dihadapi Indonesia.

Direktur Advanced Energy System USAID-SINAR Hanny J Berchmans memaparkan, tantangan yang pertama yakni perubahan paradigma. Menurutnya, para pemangku kepentingan (stakeholder) perlu untuk mengubah paradigma produksi yang linear menjadi sirkular.

"Tantangan pertama adalah perubahan paradigma. Merubah pola pikir yang sebelumnya linear di dalam produksi menjadi circular dan modern. Merubah paradigma itu tidak mudah karena menjadi tantangan," kata Hanny dalam acara Green Economy Expo 2024 di Jakarta, Kamis.

Hanny menilai paradigma baru ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam melihat dan mengelola sumber daya, serta mendorong pergeseran dari pola pikir tradisional menuju inovasi dan efisiensi.

Selanjutnya tantangan kedua yaitu perlunya investasi yang cukup besar. Aspek investasi menjadi salah satu hambatan utama dalam perjalanan menuju dekarbonisasi industri.

"Dekarbonisasi memerlukan investasi yang tidak kecil. Ini butuh biaya yang sangat signifikan," jelasnya.

Untuk menerapkan ekonomi sirkular, dibutuhkan dukungan finansial yang besar, baik dari pemerintah, sektor swasta, maupun lembaga internasional guna membiayai teknologi dan infrastruktur yang dibutuhkan.

Kemudian, tantangan ketiga yakni perlunya kerja sama lintas sektor.

Menurut Hanny, penerapan ekonomi sirkular guna mencapai dekarbonisasi memerlukan peran semua pemangku kepentingan dari pemerintah hingga masyarakat.

Kerja sama yang terarah antara pemerintah, industri, dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung ekonomi sirkular. Setiap pemangku kepentingan harus berkontribusi dalam usaha ini untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Namun, lanjutnya, di balik tantangan-tantangan tersebut, terdapat suatu peluang besar.

"Peluangnya adalah kepada pengembangan teknologi melalui inovasi. Inovasi perlu, seperti yang kita ketahui, Indonesia masih terjebak dalam middle-income trap, masih mengandalkan sumber daya alam," tambahnya.

Inovasi-inovasi baru diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah produk (value added) dan mendorong Indonesia keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle-income trap).

Ia mengatakan, upaya kolaboratif dan inovatif adalah kunci untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan mencapai dekarbonisasi industri yang berkelanjutan di Indonesia.

Transformasi ini tidak hanya akan mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan daya saing industri Indonesia di kancah global.

"Saya yakin pendekatan circular economy ini akan memberikan dampak positif," tutupnya.

Adapun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan tengah menyiapkan ekosistem agar ekonomi sirkular di Indonesia dapat berjalan baik, sebab hingga kini ekonomi sirkuler yang berlangsung belum terstruktur.

“Kita sedang menyiapkan ekosistem untuk mencapai tujuan bahwa ekonomi sirkuler dan ekonomi linier kita harus menyediakan ekosistem sejak awal,” ujar Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Priyanto Rohmattullah.

Ia mengakui, hingga kini ekonomi sirkular memang sudah dijalankan di Indonesia, namun demikian masih terbatas pada gerakan atau belum terstruktur.

Priyanto menyebut, ekonomi sirkular memiliki potensi sebesar Rp500 triliun sehingga mampu mendongkrak perekonomian dalam negeri, karenanya pihaknya hingga kini tengah menyiapkan berbagai aturan agar ekosistem ekonomi sirkular ini dapat terbentuk.

Baca juga: IESR dorong pemutakhiran kebijakan energi dan dekarbonisasi industri
Baca juga: Indonesia-Jepang perkuat kerja sama sektor otomotif pacu dekarbonisasi

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024