Produk yang dikeluarkan penyedia jasa keuangan itu sangat variatif, jadi produknya dispesifikasikan dengan kebutuhan si 'family office'
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan perlu pendalaman produk keuangan yang variatif agar bisa menarik investasi di skema family office atau pengelolaan dana berbasis keluarga.
"Produk yang dikeluarkan oleh penyedia jasa keuangan itu sangat variatif, jadi produknya dispesifikasikan dengan kebutuhan si family office," ujar dia dihubungi di Jakarta, Kamis.
Dirinya menjelaskan penambahan diferensiasi produk keuangan yang bisa diterapkan di Indonesia agar bisa memacu investasi di family office antara lain yakni instrumen keuangan yang berorientasi lingkungan (Sustainable link bond), obligasi tematik untuk pembiayaan proyek strategis nasional di sektor kesehatan, infrastruktur, pendidikan, dan telekomunikasi (Sustainable Development Goals/SDGs bond), serta asuransi spesifik untuk orang super kaya (custom high net worth individual/HNWI).
Ia mengatakan untuk menghadirkan produk variatif itu, perlu adanya komunikasi dengan penyedia jasa keuangan supaya pendalaman pasar keuangan, dan regulasinya sesuai dengan kebutuhan family office.
Lebih lanjut menurut dia, selain memperluas diferensiasi produk keuangan, pemerintah juga mesti memberikan jaminan kepastian hukum, pemberantasan korupsi, peningkatan daya saing, serta perlindungan data pribadi.
Baca juga: Presiden memerintahkan Menko Luhut bentuk satgas 'family office'
Baca juga: Menko Luhut bidik peningkatan lapangan kerja lewat "family office"
"Family office ini kumpulan aset dari high net worth individual, orang-orang super kaya. Jadi mereka sangat sensitif soal perlindungan data pribadi," ujarnya.
Lebih lanjut, pakar ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan skema investasi family office merupakan bisnis yang berbasis kepercayaan.
Oleh karena itu dirinya ingin pemerintah berfokus membangun kapasitas (capacity building) supaya bisa meningkatkan minat investasi di skema pengelolaan dana berbasis keluarga, dengan cara membuktikan rekam jejak pengelolaan keuangan dengan total anggaran hingga ratusan triliun.
"Buktikan dulu bahwasanya orang Indonesia bisa seprofesional para pengelola dana di luar negeri," katanya.
Di sisi lain ekonom sekaligus pemerhati pasar modal Yanuar Rizky mengatakan, dirinya mendorong penerbitan instrumen keuangan lain untuk meningkatkan perekonomian negara melalui minat investasi, dibandingkan menggunakan skema bisnis family office.
"Bisa juga BUMN mengeluarkan sekuritisasi aset yang namanya EBA (Efek beragun aset), misalnya proyek IKN, EBA-nya dibeli sama mereka (investor)," kata dia.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan kepala lembaga negara untuk membahas potensi skema investasi "family office" dalam rapat internal di Istana Negara Jakarta, Senin (1/7).
Pemerintah memproyeksikan investasi dari pengelolaan dana berbasis keluarga atau family office yang bisa ditarik ke Indonesia mencapai 500 miliar dolar AS dalam beberapa tahun ke depan.
Jumlah tersebut merupakan 5 persen dari total dana yang dimiliki perusahaan keluarga atau family office di dunia sebesar 11,7 triliun dolar AS.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan peningkatan penerimaan produk domestik bruto (PDB) dan lapangan kerja melalui skema investasi family office.
"Dia harus datang kemari (Indonesia). Misalnya, dia taruh duitnya 10 atau 30 juta dolar AS, dia harus investasi berapa juta, dan kemudian dia juga harus memakai orang Indonesia untuk kerja di family office tadi. Jadi, itu nanti yang kita pajakin,” ujar Luhut.
Baca juga: Pemerintah proyeksikan investasi "family office" 500 miliar dolar AS
Baca juga: Jokowi kumpulkan menteri-kepala lembaga bahas skema "family office"
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024