Perkawinan hip hop dengan Jogja bahkan sudah terlihat dari gaya berpakaian mereka.
Celana agak gombrong, topi, berpadu dengan atasan batik beraneka warna.
Ketika nge-rap, Kill the DJ, Balance, Mamo, Lukman, dan Anto pun 90 persen menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jogjakarta yang kental.
Melalui lagu-lagunya, JHF menyampaikan kritik mereka, seperti "Lolipop" yang menyoroti karya seni yang berorientasi pada uang.
"Kalau band nggak laku, terus bubar," kata Kill the DJ.
Atau simak "Jula-Juli Jaman Edan", yang sedikit menurut Kill the DJ cocok untuk tahun politik ini.
"Nduwe pitik loro, dipangan macan. Politik saiki berantakan. Jamane jaman edan. Melu edan ora tahan".
Sore ini, JHF tampil di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia. Kill the DJ mengatakan cukup lama mereka tidak tampil di Jakarta.
"Teks ketemu karena chemistry. Kebetulan cocok," jelas Kill the DJ.
"Lama nggak konser di Jakarta. Pingin menyapa teman-teman," kata pemilik nama asli Marzuki Mohammad ini.
Beberapa kali JHF bekerja sama dengan Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, atau yang lebih dikenal sebagai Romo Sindhunata.
Mereka membuat lagu dari tulisan-tulisan Romo Sindhunata, antara lain lagu "Ora Cucul Ora Ngebul", "Ngelmu Pring", dan "Rep Kedhep".
Jogja Hip Hop Foundation berdiri sejak 2003. Selama berdiri mereka telah menelurkan tiga album kompilasi, "Poetry Battle 1-Love" (2007), "Poetry Battle 2-The Others" (2009), dan "Jogja Istimewa" (2010).
Mereka pernah mengadakan konser di New York pada tahun 2011.
Tahun berikutnya, mereka kembali ke AS untuk tur di beberapa kota.
Tahun 2013 lalu mereka juga mengadakan perjalanan ke beberapa negara.
"Tur ke luar negeri terserah undangannya saja hahaha. Tahun ini belum," kata Kill the DJ.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014