Indonesia perlu segera meningkatkan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan transisi energi dengan mengembangkan industri energi terbarukan domestik
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemutakhiran kebijakan energi dan dekarbonisasi industri demi mencapai target bauran energi terbarukan.
"IESR memandang jika Indonesia hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi yang terukur, maka pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat, bahkan Indonesia tidak akan melebihi 30 persen pada 2060," kata Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR His Muhammad Bintang dalam diskusi bersama media yang bertajuk Update Isu dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR di Jakarta, Rabu.
IESR memandang bahwa Indonesia perlu mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan sebagai strategi penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, demi membatasi kenaikan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim.
IESR menilai, untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Selanjutnya, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan finalisasi RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.
Bintang menuturkan, lambatnya pertumbuhan sektor ketenagalistrikan, yang diharapkan akan mendorong penambahan bauran energi terbarukan, terlihat dari pembangkit energi terbarukan yang baru mencapai sekitar 1 GW hingga tahun 2023, jauh dari target awal sebesar 3,4 GW yang ditetapkan pada 2021.
Menurutnya, terdapat beberapa penyebab lambannya implementasi energi terbarukan. Pertama, rendahnya permintaan energi dibandingkan proyeksinya. Kedua, lapangan tanding yang tidak setara, pembangkit energi terbarukan dipaksa bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batubara dengan regulasi Domestic Market Obligation (DMO).
Ketiga, integrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB menghadapi tantangan teknis dari kondisi sistem jaringan listrik saat ini.
Keempat, beberapa peraturan seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum sesuai dengan kondisi saat ini dan mempengaruhi pengembangan proyek energi terbarukan.
Saat ini pemerintah tengah melakukan pembaruan beberapa regulasi dan kebijakan pada sektor energi. Untuk itu, menurut Bintang, pelaku industri, media dan masyarakat sipil serta berbagai pihak lainnya perlu mengawal dan memberi masukan agar pembaruan tersebut dapat menjadi solusi kendala pengembangan energi terbarukan selama ini.
Di sisi lain, peluang untuk menaikkan bauran energi terbarukan terbuka luas dengan meningkatnya kebutuhan energi, terutama di sektor industri.
Tidak hanya itu, tren transisi energi di berbagai negara akan memberikan risiko gangguan rantai suplai teknologi energi terbarukan.
"Oleh karena itu, Indonesia perlu segera meningkatkan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan transisi energi dengan mengembangkan industri energi terbarukan domestik," tuturnya.
Bintang juga menggarisbawahi pentingnya menangkap fenomena permintaan dari pembeli (buyer's demand) akan produk hijau.
Selain itu, dinamika geopolitik energi dunia mempengaruhi daya saing investasi di Indonesia. Aturan karbon dan pajak (seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan Inflation Reduction Act (IRA)) mempengaruhi aliran investasi ke negara-negara Selatan, termasuk Indonesia.
Permintaan korporasi untuk energi terbarukan menjadi dorongan penting bagi Indonesia dalam mempercepat pengembangannya dan menghilangkan hambatan bagi perusahaan dan individu untuk menggunakan energi terbarukan.
Saat ini, 121 anggota RE100 Global telah melaporkan kegiatan operasional mereka di Indonesia. Berdasarkan penilaian RE100, Indonesia berpotensi untuk tumbuh pesat dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, namun potensi tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Untuk itu, inisiatif RE100 memandang Indonesia sebagai wilayah strategis untuk memperluas kegiatan advokasi dengan misi mempercepat perubahan menuju jaringan listrik tanpa emisi karbon skala besar.
“Asesmen Climate Group RE100 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang "tertinggal (stragglers)" dalam pengembangan energi terbarukan. Meningkatnya tuntutan ketersediaan produk berkelanjutan memicu permintaan besar untuk energi terbarukan di lokasi operasi perusahaan,” ujar Bintang.
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendra Iswahyudi menyatakan, untuk mengoptimalkan kondisi Indonesia dengan sumber daya energi terbarukan tersebar luas di seluruh negeri, diperlukan modernisasi jaringan grid yang smart dan terintegrasi secara nasional, untuk membangun infrastruktur transmisi dalam negeri yang tangguh dan andal.
“Mengacu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akan dikembangkan secara masif pada 2030 diikuti oleh pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada 2037,” tegas Hendra.
Hendra memaparkan, energi surya diprioritaskan untuk dikembangkan dengan didukung oleh biaya yang terus menurun. Rencana pengembangan PLTS terdiri dari pengembangan PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 giga watt (GW).
Sementara, PLTS skala besar ditargetkan sampai dengan 2030 mencapai 4,68 GW. Sedangkan potensi PLTS terapung yang dapat dikembangkan sebesar 89,37 GW.
Baca juga: Kemenperin: Peta jalan dekarbonisasi industri semen diterapkan 2025
Baca juga: Bappenas-WRI kerja sama susun peta jalan dekarbonisasi industri nikel
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024