Harus diakui, RS membutuhkan teknologi dan sumber daya yang luar biasa sehingga mahal, tetapi kalau bisa jangan terlalu banyak di situ
Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkses) RI Prastuti Soewondo mengatakan, belanja asuransi kesehatan mesti seimbang antara Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan rumah sakit (RS).

“Di tahun 2023, belanja asuransi kesehatan kita tercatat Rp167 triliun, kita perhatikan di sini karena dari Rp167 triliun, ternyata mayoritas perginya ke rumah sakit, 84 persen ke rumah sakit, sisanya ke FKTP, bisa ke puskesmas atau klinik swasta. Padahal, negara-negara yang sustain -mampu bertahan-, betul-betul merancang agar pengeluarannya proporsional, 30 atau 25 persen FKTP, sisanya baru RS,” kata Prastuti dalam seminar yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan, rumah sakit membutuhkan teknologi dan sumber daya yang luar biasa besar sehingga membutuhkan biaya mahal.

“Yang menjadi mahal, di literatur manapun RS pasti mahal, jadi bagaimana caranya supaya kita tidak ke rumah sakit. Harus diakui, RS membutuhkan teknologi dan sumber daya yang luar biasa sehingga mahal, tetapi kalau bisa jangan terlalu banyak di situ,” ujarnya.

Berdasarkan data Kemenkes, belanja asuransi kesehatan di FKTP masih rendah dan mengalami penurunan karena semua pembiayaan lebih fokus ke rumah sakit.

“FKTP nya sekarang -2023- hanya 12,4 persen, tadinya di tahun 2022 sebesar 13,2 persen, 2021 sebesar 16,1 persen. Namun, jumlah biayanya naik, tetapi semuanya lari ke RS. Kita mau membetulkan ini, menyeimbangkan antara RS dengan FKTP,” katanya.

Prastuti menambahkan, dari Rp167 triliun tersebut, belanja asuransi kesehatan paling banyak digunakan untuk penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, jantung, stroke, dan lain sebagainya, sebesar Rp105,5 triliun (65,8 persen).

“Yang sudah masuk di dalam rumah sakit mungkin yang kasusnya berat atau perlu operasi,” ucapnya.

Ia juga menjelaskan, belanja kesehatan di suatu negara akan tergantung pada filosofi yang dianut.

“Ada yang diserahkan sepenuhnya pada swasta, tetapi di Indonesia mix -campuran antara asuransi swasta, publik, dan sosial-. Publik kita persentasenya 57,2 persen, dan yang mewakili asuransi sosial BPJS masuk dalam perhitungan skema publik, walaupun sebenarnya dia merupakan kuasi pemerintahan,” katanya.

Menurutnya, pengeluaran kesehatan di Indonesia menekankan pada kualitas.

“Kalau kita lihat di Indonesia, pengeluaran kita masih rendah, masih 3,7 persen dari PDB, jangan sampai 18 persen dari PDB, kita mau quality spending, bagaimana mengatasi biaya tinggi dengan pengeluaran yang berkualitas, ada standarnya, harus tahu apakah penting kebutuhan kesehatannya,” katanya.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024