Saat ini kebutuhan darah mencapai 5,2 juta kantong, tetapi hanya tersedia 4,2 juta kantong, sehingga masih terdapat kekurangan satu juta kantong
Jakarta (ANTARA) - Dua rumah sakit vertikal, yakni Rumah Sakit Fatmawati dan Rumah Sakit Kariadi menerima Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan diharapkan dapat meningkatkan volume plasma untuk kebutuhan dalam negeri.

Plt Kepala BPOM Rizka Andalucia dalam keterangan yang diterima di Jakarta Rabu menyebutkan, penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dalam pengolahan darah penting guna menjamin kualitas dan keamanan produk darah yang akan ditransfusikan kepada pasien serta plasma yang akan diolah menjadi bahan baku obat derivat plasma.

"Jadi, penting sekali jaminan mutu di setiap tahapan. Nah, RSUP Fatmawati, RSUP Kariadi, RSUP Sardjito telah menerapkan ini dan didukung oleh sistem informasi yang baik," ujar Rizka.

Rizka menjelaskan, proses tahapan yang perlu dilalui untuk mendapatkan sertifikasi GMP dan menekankan pentingnya penerapan GMP di UPD.

"Supaya kita tahu pendonornya siapa, back-nya yang mana. Kita tahu sampai nanti jadi bahan bakunya disimpan sekitar dua tahun sebelum diproduksi plasmanya itu," katanya menjelaskan.

Dalam pernyataan yang sama, Direktur RSUP Fatmawati Dr Mohammad Syahril mengatakan, dengan sertifikasi CPOB, jenis layanan di UPD RSUP Fatmawati terjamin aman dan bermutu.

Selain itu, katanya, RSUP Fatmawati juga dapat meningkatkan layanannya, yakni memproduksi dan memisahkan plasma yang akan diolah lebih lanjut menjadi albumin.

“Produksi albumin lokal sangat penting mengingat saat ini Indonesia masih mengimpor albumin dari luar negeri. Produksi albumin lokal melalui CPOB UPD RS dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan kesehatan nasional,” kata Syahril.

Dia berharap UPD RS Fatmawati dapat terus meningkatkan produksinya, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan internal RSUP Fatmawati, tetapi juga dapat bekerja sama dengan rumah sakit lain, dan bekerja sama dengan perusahaan untuk memperoleh dan memproduksi plasma yang diolah menjadi albumin.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan bahwa kebutuhan albumin sebagai salah satu produk obat derivat plasma di Indonesia terus meningkat dari sekitar 464 ribu vial di tahun 2019 menjadi 781 ribu vial di tahun 2023, di mana untuk memproduksinya diperlukan sekitar 650 ribu liter plasma.

Selain itu, Budi mengatakan bahwa saat ini kebutuhan darah mencapai 5,2 juta kantong, tetapi hanya tersedia 4,2 juta kantong, sehingga masih terdapat kekurangan satu juta kantong.

Menurutnya, kebutuhan plasma mencapai 350 ribu liter, dan baru dapat terpenuhi sebanyak 145 ribu liter.

Karena itu, katanya, pemerintah terus menggencarkan transformasi kesehatan, termasuk mendorong ketahanan sektor farmasi melalui pemenuhan fraksionasi plasma yang dibutuhkan untuk memproduksi produk obat derivat plasma (PODP) yang selama ini masih bergantung pada impor.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024