Tidak pernah ada diberikan 'username' maupun 'password' untuk tersambung ke sistemnya sejak awal. Hanya di-'install' perangkat-nya saja di kantor
Jakarta (ANTARA) - Saksi kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi data tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) tahun 2012, Hadi Suyanto, mengatakan sistem pengawasan dan pengelolaan proteksi data TKI yang ditempatkan oleh Kemenaker tidak dapat digunakan.

Hadi, yang merupakan Staf Seksi Penempatan dan Perluasan Kerja Bidang Pemberdayaan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Ponorogo sejak tahun 2012 hingga sekarang tersebut, mengatakan sistem tidak dapat digunakan sejak pertama kali ditempatkan di Kantor Disnaker Kabupaten Ponorogo pada 2012.

"Tidak pernah ada diberikan username maupun password untuk tersambung ke sistemnya sejak awal. Hanya di-install perangkat-nya saja di kantor," ungkap Hadi dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.

Maka dari itu, ia menyebutkan seluruh perangkat sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI yang ada di Disnaker Kabupaten Ponorogo hingga saat ini terbengkalai begitu saja, dan tak pernah digunakan.

Hadi mengaku bahwa dirinya yang menerima langsung seluruh perangkat sistem pengawasan proteksi data tersebut saat dikirimkan oleh PT Adi Inti Mandiri (AIM) melalui salah satu tim teknologi informasi (TI) perusahaan, yakni Susyono Iyon pada sekitar bulan Desember 2022.

Saat diterima, kata dia, seluruh perangkat dipasang dan diuji coba terlebih dahulu. Namun dalam proses uji coba, sambung dia, sistem hanya disambungkan kepada pihak Kemenaker RI di Jakarta, bukan kepada para TKI di luar negeri.

"Setelah itu sudah, dimatikan. Tidak ada buku panduan juga untuk mengakses sistemnya," ucap dia.

Baca juga: Majelis Hakim tolak keberatan Reyna Usman di kasus korupsi Kemnaker

Baca juga: Menaker minta mediator utamakan cegah perselisihan hubungan industri


Lantaran hanya diuji coba seperti itu, ia mengaku tak mengetahui cara mengoperasikan sistem pengawasan proteksi data TKI tersebut hingga saat ini. Terlebih, lanjut dia, tidak ada pula pelatihan untuk menggunakan sistem itu dari pihak Kemenaker.

"Jadi perangkat yang sudah dipasang itu dikumpulkan saja seperti itu di kantor," tutur Hadi.

Hadi bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI di Kemenaker tahun 2012 yang menyeret Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenaker 2011-2015 Reyna Usman sebagai terdakwa. Reyna didakwa merugikan negara sebesar Rp17,68 miliar terkait kasus dugaan korupsi tersebut.

Kerugian negara disebabkan lantaran Reyna bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Sistem Proteksi TKI Tahun 2012 I Nyoman Darmanta serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM) Karunia, yang juga menjadi terdakwa, telah memperkaya Karunia atau menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya Karunia senilai besaran kerugian negara.

Karunia merupakan pihak yang dipercayakan melakukan pekerjaan pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan proteksi data di Kemenaker.

Namun, setelah dilakukan pembayaran penuh dan serah terima hasil pekerjaan, sistem pengawasan dan pengelolaan proteksi data TKI yang dibangun PT AIM tidak dapat digunakan, baik untuk migrasi data maupun integrasi sistem antara sistem proteksi TKI milik Kemenaker dengan sistem informasi yang sudah ada milik para pemangku kepentingan terkait.

Penunjukan PT AIM sebagai pelaksana pengadaan sistem proteksi data TKI Kemenaker dilakukan Reyna usai menerima bayaran senilai Rp3 miliar untuk izin PT AIM mengadakan jasa pelatihan TKI saat masih menjabat sebagai Sekretaris Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker pada 2010.

Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024