Khartoum (ANTARA) - Perang yang masih berlangsung di Sudan telah menghancurkan teknologi, kesehatan, pendidikan, dan layanan publik atau swasta lainnya yang mempekerjakan banyak tenaga profesional terampil.

Sudan terjebak dalam konflik mematikan antara Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) sejak pertengahan April 2023.

Konflik itu telah menewaskan lebih dari 16.650 orang, menurut laporan situasi Sudan yang diperbarui oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juni.

Perang tersebut juga melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan serta menyebabkan banyak perusahaan bangkrut dan institusi publik tutup, sehingga para tenaga profesional ini terpaksa memasuki pasar tenaga kerja manual yang sangat fluktuatif atau menjadi wiraswasta.

Di wilayah Karari di Kota Omdurman, sebelah utara Khartoum, ibu kota Sudan, sebuah tempat penampungan berukuran besar bagi warga yang menyelamatkan diri dari perang, Bakri Merghani, seorang mantan karyawan di perusahaan teknologi informasi, kini berjualan pakaian dan aksesori.

Bakri Merghani menjual aksesoris dan mainan anak-anak di kawasan Karari, kota Omdurman pada 21 Juni 2024. (XinhuaFaris Idriss)

Sebelum terjadinya perang, pria berusia 41 tahun itu bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) akuntansi bergengsi di Khartoum dengan gaji yang tinggi.

"Tak lama setelah perang tersebut pecah, perusahaan saya benar-benar berhenti (beroperasi), dan saya harus mengungsi ke Omdurman utara, tempat saya membuka toko pakaian skala kecil," katanya kepada Xinhua, seraya menambahkan bahwa kondisi bisnisnya buruk.

"Tidak ada pelanggan selama berhari-hari, dan terkadang dalam sepekan penuh, kami menjual barang dengan harga sekitar 5.000 pound Sudan (100 pound Sudan = Rp2.722) atau sekitar 2,77 dolar AS," tutur Merghani.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), perang membuat tingkat pengangguran di Sudan naik dari 32,14 persen pada 2022 menjadi 47,2 persen pada 2024, sementara sebuah studi yang dilakukan oleh American Food Policy Institute memperkirakan bahwa Sudan akan kehilangan 5 juta pekerjaan akibat perang.

Tariq Shuaib (56), yang bekerja sebagai pegawai pemerintah sebelum terjadinya perang, kini mengelola sebuah toko obat-obatan herbal.

Foto yang diambil dengan menggunakan ponsel pada 17 April 2024 ini memperlihatkan seorang relawan membersihkan rumah yang rusak di Omdurman, Sudan. (Xinhua/Mohamed Khidir)

"Setelah perang tersebut pecah, kami dijarah, kehilangan pekerjaan, dan tidak lagi memiliki sumber pendapatan," ujar Shuaib kepada Xinhua, sambil menyiapkan ramuan herbal dan bahan-bahan lainnya.

"Hidup di tengah perang sangat sulit dan kami tidak punya uang," kata Shuaib, yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya yang beranggotakan lima orang, seraya menyatakan bahwa obat-obat dari tokonya telah menjadi alternatif populer bagi banyak pasien yang tidak dapat membeli obat yang diresepkan akibat "kelangkaan dan harga yang tinggi."

Namun demikian, perang juga menyingkap sisi baik kemanusiaan, dengan banyak warga Sudan di luar negeri memberikan sumbangan kepada keluarga-keluarga yang rentan serta adanya inisiatif yang menjamur di Sudan untuk menyalurkan bantuan pangan darurat ke banyak rumah tangga di masa-masa sulit.

Seorang guru bernama Mohamed Abdul-Baqui (59) mengatakan bahwa "solidaritas sosial mengurangi dampak penderitaan secara signifikan."

Pendapatan negara Sudan turun lebih dari 80 persen akibat perang, kata Menteri Keuangan Sudan Jibril Ibrahim pada Februari lalu.

Mengutip seorang pejabat militer perdagangan Sudan yang tidak disebutkan namanya, jaringan berita Al Jazeera pada April lalu melaporkan bahwa perang menghentikan aktivitas operasional di sedikitnya 1.000 lembaga ekonomi di Sudan, yang sebagian besar berkecimpung di bidang industri, perdagangan, pangan, dan obat-obatan, baik akibat kerusakan materi, penjarahan, maupun pembakaran.

Tariq Shuaib berada di dalam toko jamu miliknya di kawasan Karari, kota Omdurman, pada 21 Juni 2024. (XinhuaFaris Idriss)

Sementara itu, nilai mata uang pound Sudan terhadap mata uang asing terus mengalami penurunan, dengan nilai tukar 1 dolar AS yang berada di kisaran 600 pound sebelum perang kini berada di angka 1.800 pound.

Menurut data IMF, tingkat inflasi di Sudan melonjak ke angka 256,17 persen, menandai peningkatan sebesar 117,4 persen. Pemerintah Sudan belum mengeluarkan laporan mengenai tingkat inflasi akibat perang.

Dalam beberapa bulan terakhir, organisasi-organisasi kemanusiaan internasional telah memperingatkan tentang peningkatan risiko kelaparan di Sudan akibat konflik berkepanjangan. Pada Kamis (27/6), PBB menyebutkan bahwa risiko kelaparan mengancam penduduk dan pengungsi dari sedikitnya 14 area di Sudan.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024