Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan sejumlah praktik pencegahan penyakit infeksi bakteri pemakan daging, yang kini sedang mengalami peningkatan kasus di Jepang.
"Sudah banyak dibicarakan tentang Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) atau yang secara awam disebut sebagai bakteri pemakan daging yang sedang ada peningkatan kasusnya di Jepang dan jadi berita penting di dunia," kata Tjandra di Jakarta, Minggu.
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI itu mengatakan bakteri pemakan daging bisa menyebar dengan cepat dan menimbulkan kematian hanya dalam waktu 48 jam.
Ia mengatakan angka kematian dapat mencapai 30 persen, atau jauh lebih tinggi dari kematian COVID-19 yang di bawah 5 persen.
"Saat ini belum ada vaksin untuk penyakit tersebut," katanya.
Sejumlah gejala yang terjadi bermula dari keluhan demam, nyeri otot, muntah dan dapat memburuk secara cepat karena bakteri penyebabnya melepaskan racun yang menyebabkan respons peradangan luas, syok dan kerusakan berbagai organ dalam tubuh manusia.
Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara menjelaskan dugaan mengapa kasus tersebut mengalami tren peningkatan kasus di Jepang.
"Selama pandemi COVID-19, maka banyak masyarakat yang relatif tidak banyak kontak dengan bakteri karena jaga jarak dan lainnya, dan menyebabkan tidak adanya ketahanan alamiah," ujarnya.
Dugaan lainnya, terjadi pelemahan sistem imun pasca-COVID-19, atau yang dikenal sebagai weakened immune systems post-COVID-19.
Baca juga: Kemenkes sebut belum ada laporan kasus bakteri pemakan daging
Dikatakan Tjandra, Pemerintah Hongkong melalui Badan Perlindungan Kesehatan (Centre for Health Protection/CHP) Kementerian Kesehatan setempat memberi seruan pada warga Hongkong yang akan bepergian untuk waspada terhadap peningkatan infeksi tersebut.
"Pemerintah Malaysia juga bergerak cepat, dan menyebutkan berkoordinasi dengan WHO untuk mendapat informasi yang lebih jelas. Malaysia memonitor secara ketat kemungkinan kasus ini di negara mereka melalui Crisis Preparedness and Response Center divisi infeksi pemerintah mereka," katanya.
Sementara itu, Pemerintah Thailand mengeluarkan Travel Advisory for Thais bagi warganya yang akan ke Jepang, yang meliputi persiapan sebelum berangkat, apa yang harus dilakukan selama bepergian, kewaspadaan terhadap risiko tinggi, dan apa yang harus dilakukan sesudah kembali ke Thailand, kata Tjandra menambahkan.
"Mungkin baik juga kalau pemerintah kita mempertimbangkan untuk melakukan hal serupa," katanya.
Dikatakan Tjandra, Pemerintah Jepang melakukan monitoring aktif situasi penyakit ini, dan meningkatkan penyuluhan kesehatan ke masyarakat Jepang.
Sedangkan, Pemerintah Amerika Serikat melalui Center of Diseases Control and Prevention (CDC) menyampaikan bahwa yang termasuk kelompok risiko tinggi terkena STTS termasuk kaum lansia, mereka yang punya luka terbuka dan juga pasien-pasien yang baru menjalani pembedahan.
"WHO pada Desember 2022 pernah pula melaporkan peningkatan kasus invasive Group A Streptococcus (iGAS) di Perancis, Irlandia, Belanda, Swedia dan Inggris, utamanya pada anak-anak, hanya memang tidak seperti peningkatan di Jepang sekarang ini," katanya.
Tjandra menambahkan, perkembangan yang ada di Jepang perlu terus diamati mendalam, dan juga perlu melakukan antisipasi dengan baik dan tidak mengabaikannya begitu saja.
"Tapi di sisi lain, kita tidak perlu harus khawatir berlebihan pula. Harus disadari bahwa berbagai penyakit masih akan tetap bermunculan, dan kewaspadaan senantiasa dari aparat kesehatan merupakan salah satu kunci pengendaliannya, di dunia dan juga di negara kita," katanya.
Baca juga: Wabah infeksi bakteri "pemakan daging" merebak di Jepang
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024