... logika nasionalisme masyarakat Indonesia masih kuat. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu menyosialisasikan skema itu terlebih dahulu sebelum diterapkan,

Jakarta (ANTARA) - Indonesia hingga saat ini teguh dengan sistem kewarganegaraan tunggal (single citizenship). Namun, keinginan untuk beralih menjadi negara dengan dwi-kewarganegaraan (dual citizenship) masih digaungkan diaspora.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly menyatakan Indonesia belum akan menerapkan dwi-kewarganegaraan, mengingat butir-butir Sumpah Pemuda yang sudah terpatri 95 tahun lamanya.

Dari dulu hingga kini, Indonesia mengilhami Sumpah Pemuda yang salah satu butirnya berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.

“Secara joke (kelakar) saya katakan, kalau teman-teman diaspora Indonesia menginginkan dwi-kewarganegaraan, maka perlu lagi Sumpah Pemuda jilid kedua,” ucap Yasonna dalam rapat bersama Komisi III DPR RI.

Menkumham mengakui, jauh panggang dari api untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang menganut kewarganegaraan ganda. Sumpah Pemuda telah menjadi sejarah filosofi dan dasar ideologi bangsa sehingga perjalanan historis itu sukar untuk dimungkiri. Alasan itu jugalah yang menjadikan pembahasan revisi Undang-Undang Kewarganegaraan untuk perubahan dwi-kewarganegaraan berakhir buntu.

Menjawab raungan diaspora akan keinginan dwi-kewarganegaraan itu, Pemerintah berencana mengadopsi skema yang menyerupai India, yakni "Overseas Citizenship of India" (OCI).

Layaknya Indonesia, konstitusi India tidak mengizinkan warganya memiliki kewarganegaraan India dan negara asing secara bersamaan. Berdasarkan rekomendasi Komite Tingkat Tinggi Diaspora India, pemerintah setempat memutuskan memberikan Kewarganegaraan Luar Negeri India.

Orang asal India atau persons of Indian origin (PIOs) dari kategori tertentu berhak untuk mendaftar OCI. Skema ini tidak sama dengan dwi-kewarganegaraan karena orang yang terdaftar sebagai OCI tidak memiliki hak suara dan hak politik.

Pemegang OCI menerima beberapa manfaat, di antaranya visa masuk ganda dan multiguna (multiple entry, multi-purpose visa) seumur hidup; pengecualian untuk melapor selama masa tinggal; serta kesetaraan dengan non-residen India (NRI) di bidang keuangan, ekonomi, dan pendidikan kecuali dalam akuisisi properti pertanian atau perkebunan.


Mengakomodasi diaspora

Menurut Menkumham, skema OCI bisa mengakomodasi diaspora yang beriktikad baik ingin datang ke Indonesia untuk membangun bangsanya. Dengan diterapkannya OCI ini, warga Indonesia yang berkualitas di luar negeri dapat masuk ke Tanah Air tanpa repot.

“Kalau kita lihat India, tidak brain-drained, mereka bisa mengakomodasi [diaspora]. Kalau ada Silicon Valley di California, maka sekarang kita melihat ada Silicon Valley di India,” ucap Yasonna.

Jika nanti Indonesia menerapkan skema OCI, pemiliknya mendapatkan visa masuk ke Indonesia seumur hidup, tetapi tidak punya hak politik sehingga tidak diperbolehkan memilih, dipilih, dan tidak pula diperkenankan memegang jabatan-jabatan publik.

Pada kunjungan kerjanya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington, D.C., Amerika Serikat (AS) akhir Mei lalu, Yasonna juga telah menyuarakan skema ini di hadapan diaspora. Ia menyebut OCI sebagai solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi Pemerintah dan diaspora.

Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) Agus Haryanto menyebut OCI merupakan skema yang paling tepat untuk menjawab polemik dwi-kewarganegaraan. Hal ini mengingat skema OCI tidak memberikan pemiliknya hak politik sehingga tidak menabrak sistem kewarganegaraan tunggal sekaligus tidak mengingkari rasa nasionalisme yang mengakar.

“Skema OCI itu skema yang paling pas, ya, untuk kewarganegaraan,” kata Agus kepada ANTARA.

Skema OCI dinilai bisa mendatangkan manfaat bagi negara. Melalui skema ini, Indonesia bisa brain gain atau mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dari mereka yang memiliki darah Indonesia, tetapi sudah berkewarganegaraan lain. Agus pun mendorong pembahasan skema tersebut.

“Kita lihat sekarang konteksnya sepak bola, kita sudah lihat ‘kan itu adalah bagian dari naturalisasi. Kemarin karena dengan satu kewarganegaraan, tapi dengan skema OCI ‘kan kita bisa akan dapat lebih banyak lagi,” ujarnya.


Peraturan Pemerintah

Menkumham mengatakan Pemerintah tengah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) terkait skema OCI tersebut. Pemerintah memastikan PP itu tidak akan melanggar aturan kewarganegaraan tunggal yang telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. PP itu ditargetkan rampung sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir.

Sementara itu, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar menuturkan bahwa skema OCI masih dibahas dengan kementerian dan lembaga terkait. Pembahasan masih dilakukan karena skema OCI memerlukan penyelarasan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Lebih lanjut, Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Silmy Karim telah membentuk tim untuk menyusun aturan main skema OCI. Perlu beberapa persyaratan pendaftaran karena mengingat skema itu nantinya akan memberikan visa dan izin tinggal seumur hidup. Pihaknya ingin skema itu segera rampung, tetapi tidak dimungkiri ada proses bertahap yang perlu dilewati.


Rambu-rambu

Agus Haryanto yang juga dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) memprediksi akan ada pertentangan dari masyarakat jika skema OCI benar-benar diterapkan. Hal ini berkaca pada naturalisasi dalam tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia.

“Saya lihat kemarin posting-an (unggahan) di sepak bola, misalnya, ketika Timnas kalah itu langsung orang bilang ‘Itu ke mana pemain lokal pada hilang semua diganti naturalisasi’,” kata dia.

Sejauh ini, logika nasionalisme masyarakat Indonesia masih kuat. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu menyosialisasikan skema itu terlebih dahulu sebelum diterapkan.

Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang matang terkait skema OCI, termasuk pertimbangan mendasar skema itu diterapkan, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Editor: Achmad Zaenal M


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024