Jakarta (ANTARA) - Di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sumatera, pemerintah mencoba menggali dan menyusun ulang serpihan masa lalu melalui proyek revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi.

Di atas tanah seluas 10 hektare itu, hampir 4 ribu hektare di antaranya kawasan candi Buddha. Rencananya serpihan-serpihan masa lalu itu akan dipajang di museum yang dibangun sebagai fasilitas penunjang, agar manusia modern dapat menengok masa lalu, mempelajari kekayaan sejarah Indonesia dari berabad-abad silam.

Dalam peletakan batu pertama untuk revitalisasi kawasan itu, tradisi Tegak Tiang Tuo mengawali usaha mulia tersebut agar menjadi doa yang sarat akan makna.

Tegak Tiang Tuo adalah sebuah tradisi di Jambi yang dilakukan setiap ada rumah yang akan dibangun. Harapannya, agar rumah tersebut dapat memberikan rasa aman, nyaman, dan semangat bagi penghuninya. Tradisi tersebut awet dari masa lalu hingga kini, tak alpa dari setiap pembangunan.

Tentu saja tradisi itu sejalan dengan harapan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi yang ingin kawasan pengembangan tersebut menjadi 'rumah' bagi ilmu pengetahuan tentang peradaban Muarajambi yang hilang, serta tempat bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lokal untuk bertumbuh kembang.

Warga dari delapan desa di kawasan cagar budaya itu berada, yaitu Muaro Jambi, Danau Lamo, Kemingking Luar, Kemingking Dalam, Baru, Tebat Patah, Dusun Mudo, dan Teluk Jambu, menghaturkan harapannya melalui prosesi itu.

Iring-iringan yang diikuti datuk kepala desa, alim ulama, pemangku adat, menggotong sebuah balok kayu besar ke dekat sebuah lubang di tengah-tengah area yang menjadi lokasi pengembangan. Di dekat lubang itu, ada struktur tanah yang melandai untuk membantu menegakkan kayunya.

Sebelum kayu itu ditancapkan, ada sejumlah benda yang ditanamkan di lubang tersebut, masing-masing memiliki makna tersendiri dalam harapan akan hunian itu. Benda-benda tersebut adalah emas, perak, tapak kuda, serbuk besi, sawang angin.

Datuk Kepala Desa Danau Lamo Ismail Ahmad menceritakan bahwa emas, yang dalam kesempatan itu ditanam oleh Gubernur Jambi Al Haris, melambangkan keberhasilan bagi sang pemilik rumah tersebut. Diharapkan, emas tersebut membawa cahaya dan rezeki melimpah bagi penghuninya.

Perak pun menyusul, diletakkan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid. Logam itu melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Sedangkan serbuk besi yang dibubuhkan mengandung asa agar penghuninya menjadi orang yang punya tekad kuat.

Untuk melengkapi kekuatan tekad yang diharapkan itu, tapak kuda yang diletakkan setelahnya, memegang makna bahwa sang pemilik rumah dapat menjadi cekatan dan responsif dalam bekerja dan suka membantu orang lain.

Sawang angin, yaitu gumpalan debu yang ditemukan di ventilasi, bermakna harapan agar penghuni rumah tersebut merasakan kesejukan di rumah yang akan dibangun.

Setelah kelima benda tersebut melapisi dasar lubang, ditaburkan setabun tawar dan secupak garam, guna menangkal segala hal negatif yang akan menghalau harapan-harapan tersebut.

Usai berbagai benda penuh simbol itu dikebumikan, para kepala desa berbalut baju koko warna hijau cerah mulai menegakkan potongan kayu tersebut, membuat stabil sebelum meninggalkan tempat. Setelah tegak, beberapa orang memapah tangga dan papan di hadapan balok itu, membangun sebuah platform untuk dua orang perempuan lokal berdiri.

Mereka membawa satu setel pakaian sepelulusan, yaitu pakaian adat khas wanita lokal. Dimulai dari bawahan warna kuning dan dipenuhi corak merah menyala, kemudian seorang dari mereka memakaikan baju berwarna hijau, gelap, menjadi sebuah kontras yang menarik di tiang tuo.

Sebuah syal serta penutup kepala yang bercorak dengan bawahan kemudian dipakaikan. Setelah kayu tersebut dipakaikan baju, langkah selanjutnya adalah memakaikan make-up, agar balok tersebut tampak lebih cantik.

Benda-benda yang dipakaikan untuk melengkapi desain tiang tuo itu termasuk minyak kemiri, bedak, celak, gincu, serta parfum.

Bukan tanpa arti tiang tuo itu dihias bagai perempuan. Menurut tradisi, perempuan adalah kaum yang menjaga dan merawat rumah di saat para pria mencari nafkah di luar, sehingga tiang tuo yang didandani sebagai perempuan menjadi sebuah simbol agar tempat itu ada yang mengawasi dan membimbing.

Setelah tiang tuo selesai didandani, dipasanglah daun serdang untuk memayungi tiang tuo itu. Pemilihan daun serdang pun tak sembarangan; maknanya adalah perlindungan bagi sosok perempuan itu. Karena itu, tak heran jika daun serdang sering digunakan untuk atap rumah, hingga kini.

Untuk menutup rangkaian ritual tersebut, doa-doa pun dipanjatkan dan disajikan hidangan yaitu puluran selemak semanis yang merupakan wujud rasa syukur atas dibangunnya 'rumah' baru itu.

Warga memberi make-up untuk bilah kayu yang digunakan dalam tradisi Tegak Tiang Tuo untuk acara peletakan batu pertama museum di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (5/6/2024).

Rumah ilmu pengetahuan

KCBN Muarajambi adalah 'rumah' bagi berbagai peninggalan masa lalu. Menurut penelitian arkeologis, candi tersebut berdiri sekitar abad ke-7 hingga ke-13, di kala masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.

Kawasan tersebut cukup luas hingga dapat memuat sekitar 82 struktur, termasuk candi utama serta bangunan pendukung. Adapun candi-candi penting yang paling signifikan adalah Candi Tinggi, Candi Gumpung, dan Candi Kedaton, yang memiliki keunikan baik dari sisi arsitektur dan historis.

Candi Muara Jambi banyak menarik perhatian banyak orang, seperti untuk penelitian akademik, spiritual, serta untuk kegiatan keagamaan dan wisata rohani. Di tahun 90-an, banyak arkeolog mancanegara yang berbondong-bondong mendatangi kawasan candi itu untuk mempelajari kekayaan sejarah Indonesia.

Oleh karena itu, Pemerintah pun berusaha memperkuat pelestarian dan promosi ilmu pengetahuan di kawasan tersebut, agar semakin mengukuhkan posisi Candi Muara Jambi sebagai pusat inspirasi dan pengetahuan. Hal itu adalah upaya lanjutan, setelah kawasan itu mendapatkan pengakuan internasional, yakni situs Warisan Dunia, dari UNESCO.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024