Hak cuti bagi karyawan pria yang istrinya melahirkan sudah jamak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional,
Jakarta (ANTARA) - Ibu yang baru melahirkan biasanya membutuhkan waktu pemulihan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Mereka yang bekerja umumnya mengambil cuti selama 3 bulan.

Kehadiran pria yang notabene adalah suami dan kepala keluarga sangat penting bagi wanita dalam situasi seperti ini.

Untuk itu, Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai aturan pelaksana dari UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Adapun salah satu poin yang akan diatur adalah hak cuti pendampingan bagi ASN pria yang istrinya melahirkan.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas menyebutkan waktu cuti yang diberikan bervariasi, sekitar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari.

Meski begitu, durasi cuti ini tengah dibahas bersama pemangku kepentingan terkait yang akan diatur secara teknis di PP dan Peraturan Kepala BKN.

Sebelumnya, cuti bagi ASN pria yang istrinya melahirkan tidak diatur secara khusus karena  yang diatur hanya cuti melahirkan bagi  perempuan ASN.

Hak cuti bagi karyawan pria yang istrinya melahirkan atau biasa disebut cuti ayah sudah jamak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional.

Dengan pemberian hak cuti tersebut, diharapkan kualitas proses kelahiran anak bisa berjalan dengan baik. Mengingat hal itu merupakan fase penting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) terbaik penerus bangsa.


Peran aktif ayah

Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM Media Wahyudi Askar menilai cuti pada saat dan pascakelahiran istri merupakan langkah positif untuk mendorong peran aktif ayah merawat dan mengasuh anak.

Hal ini juga dapat mengurangi stigma negatif patriarki yang melekat pada ayah. Poin positifnya tidak hanya meringankan beban ibu, tetapi juga meningkatkan kedekatan emosional pada anak.

Secara ekonomi, tidak semua ASN bisa membayar pembantu harian pada saat istri melahirkan.

Soal kekhawatiran bahwa ASN yang libur terlalu lama akan merusak kinerja organisasi juga tidak sepenuhnya benar. Ada metode kerja baru yang lebih fleksibel dan sudah banyak diterapkan di banyak negara.

Seorang ayah juga tetap bisa berkomunikasi dan bekerja dari rumah dengan waktu yang lebih fleksibel atau tidak mengikuti jam kerja pada umumnya.

Oleh karena itu, cuti ayah bagi ASN ini harus disertai peraturan perundang-undangan. Sebab, banyak riset menunjukkan bahwa produktivitas kerja juga berkaitan dengan kebahagiaan.


Arahan Presiden

Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Politik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Eko Novi Ariyanti mengapresiasi dan mendorong cuti ayah, lantaran pihaknya mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo terkait "peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/ pengasuhan anak".

Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian, mengingat saat ini peran domestik masih dibebankan kepada perempuan, tidak bisa dilepaskan dari peran mengasuh anak, sedangkan laki-laki berperan sebagai pemimpin, pencari nafkah keluarga sehingga merasa tidak memiliki kewajiban dalam urusan domestik.

"Perlu adanya pembagian peran yang setara dalam pengasuhan anak karena dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan emosional anak. Pembagian peran pengasuhan akan menjadi contoh bagi anak ke depan," kata Eko kepada ANTARA.

Bukan hanya anak yang mendapatkan manfaat dari pengasuhan ini, laki-laki ketika terlibat dalam pengasuhan anak akan menciptakan kedekatan dan interaksi yang lebih baik dalam keluarga.

Pembagian peran pengasuhan bersama ini, juga akan meningkatkan kualitas keluarga. Perempuan juga bisa mengaktualisasi diri mereka, berperan di sektor publik seperti mempunyai usaha sendiri, yang pada akhirnya meningkatkan ekonomi keluarga atau mampu berperan aktif dalam suatu organisasi.

Selain itu, cuti ayah ini juga terkait dengan isu ekonomi perawatan (care economy) yang memiliki keterkaitan secara signifikan terhadap upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Ekonomi perawatan menjadi isu yang diangkat kembali dalam berbagai forum internasional dan nasional. Belum ada definisi yang disepakati secara internasional mengenai ekonomi perawatan, tetapi secara sederhana dapat didefinisikan bahwa ekonomi perawatan sebagai pekerjaan reproduktif meliputi aktivitas berbayar maupun tidak berbayar.

Kerja-kerja perawatan dibutuhkan untuk menyokong kesejahteraan fisik, psikologis, sosial dari kelompok yang bergantung pada perawatan seperti anak-anak, orang tua, penyandang disabilitas, dan orang sakit.

Kategori pekerjaan perawatan langsung dan tidak langsung, berbayar dan tidak berbayar, merupakan turunan dari pembagian peran gender laki-laki dan perempuan dalam kerja produktif dan reproduktif dan berimplikasi besar dalam terjadinya ketidakadilan gender.

Adapun cuti ayah berbayar ini telah juga dibahas oleh Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) yang telah memiliki kerangka 5R (recognize, reduce, redistribute, reward, represent, recognize).

Konteks cuti ayah berbayar ini ada pada poin reduce atau pengurangan beban berlebih perempuan dalam melakukan tugas pengasuhan dan perawatan melalui pelibatan setara dari pasangan, laki-laki atau pihak-pihak terkait lainnya dan redistribute atau mendistribusikan ulang beban ganda perempuan kepada pasangan, anggota keluarga, pekerja bidang perawatan, perusahaan dan negara untuk mengoptimalkan produktivitas pekerja perempuan; termasuk penyediaan layanan pengasuhan anak, orang lanjut usia (lansia) yang terjangkau.

Cuti ayah berbayar perlu untuk didorong guna meningkatkan kesetaraan gender di tempat kerja, dengan menggeser paradigma bahwa kerja perawatan mengasuh anak adalah tanggung jawab ibu semata. Karena, hal ini diharapkan akan mampu mengurangi beban ganda perempuan pekerja yang juga memiliki anak, perempuan tetap dapat kembali bekerja dan membantu peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan.

Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan  sebenarnya telah mengatur dalam Pasal 93 ayat (2) yang memberikan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah bagi pegawai yang tidak masuk bekerja karena istrinya melahirkan atau keguguran kandungan.

Jangka waktunya adalah selama 2 (dua) hari, walaupun durasi 2 hari ini dianggap belum memadai karena lebih disebut sebagai "cuti menemani istri melahirkan".

Durasi cuti ayah sekitar 15--60 hari bisa dilakukan dan bisa diambil fleksibel sesuai kebutuhan dari keluarga tersebut (masih dalam 1.000 hari pertama kehidupan), dan dibutuhkan proses konsultasi bersama di internal tempat kerja (Pemerintah maupun dunia usaha) maupun pekerja laki-laki.

Ini mendukung upaya Pemerintah bahwa SDM adalah urusan utama sehingga dukungan cuti pengasuhan ayah ini akan membuat perempuan bisa tetap kembali bekerja dengan tenang dan tetap produktif setelah cuti melahirkan.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024