... di KJRI bilang: jika bebas boleh jalan-jalan ke mana saja tanpa paspor. Saya sudah sampaikan paspor sudah diambil orang jahat dan sebagainya tetapi mereka tidak percaya... "

Jakarta (ANTARA News) - Shandra Waworuntu (27), perempuan warga Indonesia, tidak pernah menyangka kedatangannya ke New York untuk mencari nafkah pada 1998 berujung pada hal sangat tragis. Dia jadi korban perdagangan manusia, di negara yang dikenal menjunjung tinggi HAM itu.


Situs voaindonesia.com, dua hari lalu, mengungkap sekelumit kisah dia menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.


"Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita," ujarnya melalui telefon kepada jurnalis VOA di Washington, Eva Mazrieva, Minggu waktu setempat (2/2).


Waworuntu mengatakan, dia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di bank akibat krisis moneter pada pertengahan 1998.


Iklan di Kompas dan Pos Kota membawa dia ke satu agen pengerahan tenaga kerja di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Dari situ, dia menghubungi agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya dengan tarif Rp 30 juta.


Menurut dia, biaya segitu sangat murah karena sudah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.


Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, satu hotel di Chicago, dia memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat.


"Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi," kata ibu dua anak itu.


Mendarat di Bandar Udara Internasional John F Kennedy, New York, pada 2001, dia memang dijemput "agensi" namun tidak langsung ke hotel di mana dia dikatakan akan bekerja di Chicago itu.


Malapetaka dimulai di situ, di tangan para "agensi" itu.


"Di situlah saya dipindahtangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian. Saya… dipindah-pindah beberapa kali," katanya.


Dia jatuh ke tangan sindikat perdagangan manusia yang kemudian mengeksploitasi dia untuk bisnis haram di rumah-rumah bordil; satu bentuk lain perdagangan manusia dengan semangat sama: memperdaya manusia dan menghina harkat dan martabat.


Singkat cerita, sejak menjejakkan kakinya di New York pada Juni 2001 dan jatuh ke tangan sindikat pedagang manusia --juga melibatkan WNI berdomisili di sana-- dia berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun sama.


Situs voaindonesia.com menuturkan, Waworuntu menghubungi nomor telepon yang didapat dari seorang perempuan cantik yang dia kenal dalam lingkungan sindikat itu. Secara tak terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain.


Yang ironis, pimpinan sindikat berikutnya ini justru sesama warga Indonesia yang tinggal di sana. Sebelumnya, dia dijual ke sana-sini, di antaranya Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London, dan Foxwoods.


"Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani," kata dia.


Biro Investigasi Federal pun bergerak cepat. Berbekal keterangan Waworuntu dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York.


Tiga kepala sindikat --termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut dia-- ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan warga Indonesia yang bersama-sama dia menjadi korban perdagangan manusia.


"Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya. Jadi semacam kebetulan. Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan, yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya, yang juga warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur," ujarnya.


"Waktu kami berpisah --sewaktu saya kabur dulu-- saya janji sama mereka saya akan kembali untuk mereka. Janji itu terngiang-ngiang terus waktu saya di polisi. Target saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan kawan-kawan ini," kata dia.


Situs voaindonesia.com juga menyatakan, Waworuntu menyesalkan sikap pasif KJRI di New York, ketika ia melaporkan tragedi yang dia alami.


"Orang di KJRI bilang: jika bebas boleh jalan-jalan ke mana saja tanpa paspor. Saya sudah sampaikan paspor sudah diambil orang jahat dan sebagainya tetapi mereka tidak percaya," kata dia.


"Sulit meyakinkan orang di KJRI karena sudah dianggap pekerjaan saya memang untuk mendapat keuntungan. Maksudnya, saya memang dianggap sebagai pelacur yang datang ke sini untuk mencari keuntungan. Jadi susah meyakinkan siapa saja,” ujarnya.


Pihak KJRI di New York, menurut dia, hanya mengatakan akan memberi dokumen jika akan pulang.


"Tapi perwakilan Indonesia di New York itu tidak tanya apakah saya ini tuna wisma dan lain-lain. Tidak sampai sejauh yang saya bayangkan. Maksud saya, dulu saya bayangkan jika ada kesulitan kita bisa ke polisi atau perwakilan kita di Amerika. Tetapi faktanya sulit sekali meminta bantuan," kata dia.


Sampai berita ini dinaikkan, VOA masih berupaya memperoleh keterangan dari KJRI di New York terkait hal ini. Sejauh ini, lewat telepon dan SMS, pihak KJRI hanya mengatakan bahwa itu kasus lama, kasus tahun 2001.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014