Bangkok (ANTARA News) - Partai Demokrat, partai oposisi Thailand, pada Selasa waktu setempat, akan mengajukan gugatan di pengadilan terkait sengketa pemungutan suara yang berlangsung akhir pekan lalu karena Komisi Pemilihan diduga melakukan penyimpangan kampanye, sehingga konflik politik yang berlangsung lama di Thailand tampaknya belum akan berakhir.
Namun, ada sedikit kabar baik bagi Perdana Menteri Yingluck Shinawatra sebab jumlah pengunjuk rasa anti-pemerintah, yang telah memblokir persimpangan jalan utama di Bangkok selama berminggu-minggu, tampaknya telah berkurang.
Menurut juru bicara Partai Demokrat Chavanond Intarakomalyasut, Partai Demokrat, yang telah memboikot pemilu Thailand, akan mengajukan dua gugatan terkait hasil pemungutan suara di Mahkamah Konstitusi.
"Gugatan pertama terkait dengan pemilu langsung. Kami berpendapat bahwa pemilu yang telah dijalankan ini melanggar konstitusi, khususnya pasal 68 yang melarang setiap warga merusak monarki konstitusional dan berusaha merebut kekuasaan melalui cara-cara konstitusional," kata Chavanond.
"Dalam petisi terpisah, kami akan mengajukan pembubaran partai pendukung Yingluck, Partai Puea Thai, karena telah mengumumkan keadaan darurat yang berarti pemilu tidak dapat diselenggarakan dalam keadaan normal," lanjutnya.
Pemerintah Thailand bulan lalu memberlakukan keadaan darurat untuk mengendalikan aksi protes.
Keadaan darurat itu memungkinkan badan-badan keamanan di Thailand memberlakukan jam malam, menentukan area-area terbatas, dan menahan seseorang sebagai tersangka tanpa tuduhan resmi. Namun, langkah-langkah tersebut tampaknya belum dilakukan.
Reuters melaporkan pemilihan umum pada Minggu (2/2) itu secara umum berlangsung damai, tanpa adanya kekacauan yang terjadi seperti hari sebelumnya, ketika para pendukung dan penentang Yingluck bentrok di sebelah utara Bangkok.
Apapun hasil pemilu tersebut, sepertinya masih belum akan mengubah disfungsional "status quo" di Thailand.
Komisi Pemilihan mengatakan pihaknya akan mengkaji lebih lanjut gugatan tentang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah selama pemilu.
Komisi Pemilihan Thailand akan mengadakan pertemuan pada Rabu (5/2) untuk membahas masalah seputar pemilu, termasuk kegagalan pendaftaran para kandidat di 28 daerah pemilihan, setelah pengunjuk rasa memblokade pusat pendaftaran calon anggota parlemen pada Desember lalu.
Sebelumnya pada Senin (3/2), para pengunjuk rasa anti-pemerintah dari dua kelompok melakukan "long march" untuk bertemu dengan kelompok demonstran yang ketiga di tengah Lumpini Park. Akan tetapi, jumlah demonstran anti-pemerintah itu tampaknya berkurang secara signifikan pada hari ini (Selasa, 4/2).
Beberapa kelompok kecil demonstran duduk-duduk di atas rumput setelah menghabiskan malam di tenda-tenda yang tersebar di beberapa tempat.
Para demonstran pada Minggu (2/2) memblokir tempat pemungutan suara di seperlima daerah pemilihan. Mereka mengatakan PM Yingluck harus mengundurkan diri dan memberi jalan bagi "dewan rakyat" yang ditunjuk untuk merombak sistem politik.
Para demonstran anti-pemerintah itu menilai sistem politik Thailand telah dimanfaatkan oleh saudara PM Yingluck, mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.
Pemilu terbaru di Thailand itu hampir pasti mengembalikan posisi kekuasaan Yingluck, dan dengan pemungutan suara yang berlangsung damai di wilayah utara dan timur laut, para pendukung Yingluck tidak akan ragu lagi untuk mengklaim PM Yingluck sebagai pemerintah yang sah.
Namun, sejauh ini belum ada indikasi mengenai waktu untuk melanjutkan proses penghitungan surat suara yang sempat terganggu, dan kapan Komisi Pemilihan Thailand akan dapat mengumumkan hasilnya.
Komisi Pemilihan pada Senin telah memberikan data semnetara, yaitu 20,4 juta warga Thailand memberikan suara mereka, tetapi hanya di bawah 46 persen dari total 44,6 juta warga di 68 provinsi, dari 77 provinsi, yang berhak memilih. Sementara itu, pemungutan suara di sembilan provinsi lainnya tidak mungkin dilaksanakan.
Komisi itu mengatakan, pemungutan suara pada 18 persen daerah pemilihan, atau 67 tempat dari total 375, mengalami gangguan, sehingga komisi akan merevisi data yang diberikan pada Minggu (2/2).
Para pengunjuk rasa anti-pemerintah menilai bahwa mantan PM Thaksin telah menumbangkan demokrasi yang rapuh di Thailand dengan politik populisnya seperti program subsidi, pinjaman murah, dan jaminan kesehatan untuk merayu warga miskin dan meraih kemenangan bagi partainya dalam setiap pemilihan umum sejak 2001.
(Y012)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014