Yogyakarta (ANTARA News) - Selama Juni hingga Agustus lalu ditemukan 52.599 hot spot (titik api) di delapan wilayah di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. "Jumlah paling banyak berada di Kalimantan Barat dengan 20.031 hot spot," kata Staf Ahli Menteri Kehutanan (Menhut), Koes Saparjadi, dalam pertemuan Asian Forest Partnership (AFP) di Yogyakarta, Kamis. Pertemuan Ke-6 AFP ini diikuti negara Brunei Darussalam, Kamboja, Jepang, Madagaskar, Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa dan Indonesia. Pertemuan internasional itu membahas tiga topik krusial yakni illegal logging, kebakaran hutan dan lahan serta rehabilitasi hutan dan reboisasi. Dibahas juga masalah lintas bidang pemerintahan yang baik serta penegakan hukum dan peningkatan kapasitas menuju pengelolaan hutan lestari. Ia mengatakan, hot spot tersebut terbanyak muncul pada Agustus yang mencapai 43.780, sedangkan kebakaran hutan dari Juni hingga Agustus tercatat 8.476,5 kejadian yang terjadi di tujuh dari delapan provinsi kecuali Sulawesi Selatan. "Areal kebakaran hutan terluas berada di Riau yang mencakup lahan sekitar 3.904 hektare (ha)," kata dia. Menurut Koes Saparjadi, kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya 60 persennya bukan sebagai kebakaran hutan, tetapi pembakaran lahan perkebunan oleh petani untuk membuka ladang atau kebun. Pembakaran untuk membuka ladang atau kebun yang tidak terkendali baru akan menyebabkan kebakaran hutan. "Selama ini sering terjadi salah kaprah soal kebakaran hutan," katanya. Pemerintah sekarang sedang memikirkan alternatif pembukaan lahan tanpa membakar. Untuk itu, pemerintah harus menemukan sistem agar pembukaan lahan dilakukan tidak dengan cara membakar, misalnya dengan menyiapkan lahan baru yang lebih murah. Terkait dengan illegal logging, Staf Ahli Menhut ini mengemukakan pihak yang berwenang sudah mengamankan banyak kayu hasil penebangan atau pembalakan liar. "Selain rugi secara material, Indonesia juga dicap oleh negara-negara lain sebagai produsen kayu ilegal. Setiap kita mengekspor produk kayu selalu muncul citra buruk tersebut," katanya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006