BMKG mencatat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan hingga sejumlah kota besar di Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan peningkatan suhu wilayah perkotaan di Indonesia masuk yang terbesar dalam perhitungan nilai Land Surface Temperature (LST) global sehingga perlu jadi perhatian semua pihak.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan di Jakarta, Jumat, menerangkan bahwa suhu perkotaan yang kemudian disebut (Urban Heat Island/UHI) merupakan fenomena alam berupa tingginya temperatur daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.
Fenomena ini, kata dia, dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca. Selain itu, perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun juga memperparah terjadinya UHI.
BMKG mencatat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan hingga sejumlah kota besar di Indonesia; seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Bandung termasuk dalam 20 persen kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar itu.
Bila merujuk dalam banyak penelitian Kota Semarang mencatatkan nilai LST tertinggi yakni mencapai 39,4 celcius pada tahun 2019 dan Kota Surabaya pada tahun 2021 menunjukkan nilai LST tertinggi di Kota Surabaya mencapai 38,5 celcius.
Dwikorita menerangkan tidak menutup kemungkinan dalam waktu ke depan peningkatan itu akan terus terjadi bila tidak dikendalikan bahkan dalam hal ini Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental.
Baca juga: ITS dan KLHK ajak generasi muda antisipasi bahaya UHI
Baca juga: RI tekankan pentingnya UNFCC gelar pengamatan bumi secara sistematis
Meski tidak ditemukan di Indonesia namun, kata dia, dalam catatan WMO pada tahun 2023 terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave extream yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat celcius di atas zaman pra industri.
Angka itu nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 celcius.
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengungkapkan bahwa rekor iklim global yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata.
Maka dari itu, BMKG secara khusus mengingatkan sudah saatnya dilakukan langkah atau gerak bersama tidak hanya pemerintah, namun seluruh komponen masyarakat, juga sektor swasta, akademisi, media, lembaga swadaya masyarakat, dan lain sebagainya termasuk anak-anak muda Indonesia untuk memitigasi faktor pemicu peningkatan suhu tersebut.
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024