Jadi, pelakunya banyak yang diputus enam bulan. Setelah enam bulan, keluar, ya jadi 'trafficker' lagi. Ini mungkin sudah saatnya kita lakukan revisi terhadap UU Nomor 21
Labuan Bajo (ANTARA) - Direktur pelindungan WNI dan BHI Kemlu Judha Nugraha menekankan upaya kolaborasi kementerian dan lembaga dalam memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam acara "Peluncuran Kajian TPPO Komnas HAM 2023 dan High Level Dialogue tentang TPPO" di Labuan Bajo, NTT, Kamis, ia mengatakan bahwa upaya itu diperlukan karena angka kasus TPPO mengalami peningkatan dari tahun 2021 hingga 2023.
Berdasarkan data pada portal Peduli WNI milik Kemlu, jumlah kasus TPPO pada tahun 2021 adalah sebanyak 361. Lalu, melonjak tinggi menjadi 752 kasus pada tahun 2022 dan pada tahun 2023, meningkat menjadi 798 kasus.
"Polanya sama, terjadi peningkatan kasus. Kembali pada kesimpulan, apakah efektif atau tidak? Data berbicara bahwa memang kita belum efektif melakukan penanganan dan penjagaan karena datanya selalu meningkat," ujarnya.
Ia mengatakan, Kemlu telah melakukan berbagai upaya, di antaranya mengidentifikasi korban TPPO dengan screening form berdasarkan Undang-Undang (UU) TPPO, merespons cepat dengan menghubungi otoritas setempat, hingga memberikan pendampingan berupa bantuan hukum.
Akan tetapi, kasus TPPO masih terus terjadi, sehingga ia mengusulkan langkah-langkah kolaborasi dari hulu hingga hilir pemerintahan.
"Saya rekomendasikan, ini banyak dipakai oleh banyak negara, strategi for peace; protection of victims (pelindungan korban), prosecution (langkah hukum), prevention (pencegahan), dan partnership (kerja sama)," ujarnya.
Dalam bagian pelindungan, ia menekankan pentingnya memperbaharui screening form TPPO. Menurutnya, pembaharuan itu penting karena ada oknum yang berpura-pura menjadi korban TPPO agar bisa mendapatkan bantuan pemulangan gratis.
"Kami ingin pastikan bahwa sistem pelindungan kita harus responsif terhadap korban. Ketika dia korban, maka negara harus hati-hati. Ketika dia bukan korban, negara akan bantu, namun tentu tidak bisa disamakan dengan korban," tutur dia.
Satu hal penting lain dalam upaya pelindungan adalah pencegahan reviktimisasi. Ia mengungkapkan, ada korban TPPO yang kembali mengadu nasib di luar negeri karena tidak mendapatkan pekerjaan di dalam negeri.
Baca juga: Kemlu selamatkan WNI dari ancaman hukuman mati 19 kasus pada 2023
Baca juga: Kemlu: Seluruh WNI aman di tengah kerusuhan di Kenya
"Ini yang harus kita bahas. Bukan hanya rehabilitasi integrasi, namun juga pemberdayaan ekonomi. Tentu tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada Kementerian Sosial. Ini menjadi tanggung jawab semua, termasuk pemerintah daerah," ujarnya.
Berikutnya, pada upaya penanganan hukum, ia mengusulkan agar Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO direvisi karena pada tahapan pengadilan, pelaku diputus dengan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Adapun pada UU Nomor 18, tidak disebutkan minimal lama hukuman, sehingga pelaku bisa dijatuhi hukuman singkat.
"Jadi, pelakunya banyak yang diputus enam bulan. Setelah enam bulan, keluar, ya jadi trafficker lagi. Ini mungkin sudah saatnya kita lakukan revisi terhadap UU Nomor 21," ucapnya.
Selanjutnya, pada upaya pencegahan, ia menekankan penyederhanaan proses penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Menurutnya, proses penempatan PMI harus dibuat mudah, murah, cepat, dan aman agar pekerja migran lebih tertarik.
Terakhir, terkait upaya kerja sama, ia mengatakan, integrasi data antar-lembaga harus mulai diseragamkan agar penanganan korban lebih mudah. Ia juga mengusulkan agar dibentuknya badan yang khusus menangani TPPO agar upaya pemberantasan lebih terkoordinasi.
Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024