Pemerintah sedang fokus untuk menurunkan TFR yang kini berada pada angka 2,18.
Semarang (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kerap mengintervensi angka kesuburan total (total fertility rate/ TFR) di setiap provinsi agar tercapai angka yang ideal.

Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Wahidin masih ada provinsi di Indonesia yang capaian TFR di bawah atau di atas angka ideal 2,1.

"Sebagai contoh di Jawa Tengah yang capaian TFR masih berada di angka 2,04 atau di bawah ideal. Tapi ada provinsi yang sudah di atas itu. Jadi tidak rata," ucap Wahidin di Semarang, Kamis.

Wahidin mengatakan saat ini Pemerintah sedang melakukan sejumlah upaya untuk mendorong TFR pada angka ideal, yakni 2,1. Jadi dengan cara mempertahankan yang sudah 2,1 serta menurunkan yang lebih dari 2,1.

"Jadi untuk daerah yang TFR-nya sudah 2,1 atau lebih rendah sedikit, ini akan kita pertahankan supaya tidak naik lagi. Tapi juga kalau bisa udah enggak bisa turun. Tapi untuk daerah yang masih tinggi kita upayakan turun," kata dia.

Sedangkan secara nasional, Pemerintah sedang fokus untuk menurunkan TFR yang kini berada pada angka 2,18.

"Jadi untuk kita kebijakannya saat ini tentu menggarap daerah yang TFR-nya masih tinggi," kata Wahidin.

Lebih jauh, pihaknya juga menegaskan bahwa TFR yang lebih rendah dari 2,1 juga akan menyebabkan jumlah penduduk yang minus sehingga tidak mendukung bonus demografi (tercapainya angka produktif lebih tinggi dari non produktif).

BKKBN mempunyai program agar setiap ibu setelah persalinan sebelum pulang dari fasilitas kesehatan sudah memasang kontrasepsi.

"BKKBN berupaya, ibu setelah melahirkan sebelum pulang dari fasilitas kesehatan berkenan untuk dipasangi alat kontrasepsi atau KB pascapersalinan (KBPP)," kata Wahidin.

KBPP, kata dia, memberikan jeda yang cukup antar kehamilan sehingga kondisi kesehatan ibu bisa pulih sepenuhnya dan bayi mendapatkan nutrisi yang cukup dengan ASI eksklusif.

Saat ini, menurutnya, masih banyak ditemui ibu setelah melahirkan menolak dipasang kontrasepsi. Alasan menunggu 40 hari, atau takut dengan mitos-mitos terkait penggunaan kontrasepsi. Padahal bila tidak segera pasang kontrasepsi risikonya bisa terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.

Berdasarkan laporan hasil pelayanan kontrasepsi tahun 2021 menunjukkan cakupan pelayanan KBPP masih sangat rendah, hanya sebesar 30,23 persen persen dari total persalinan.

Kemudian pada 2022 mencapai 18,44 persen dari total persalinan dan pada tahun 2023 sebesar 49,1 persen. Capaian tersebut masih jauh dari target KBPP sebesar 70 persen pada tahun 2024.

"Salah satu kendala utama rendahnya capaian KBPP adalah adanya persepsi negatif  yang dipengaruhi  norma-norma budaya, nilai-nilai agama, dan stigma sosial. Sehingga sangat diperlukan edukasi yang komprehensif dan mudah diakses oleh pasangan usia subur, ibu hamil dan ibu bersalin," kata Wahidin.
Baca juga: Peserta donor darah bakti sosial BKKBN di Semarang lampaui target
Baca juga: Kepala BKKBN: Judi online salah satu penyebab tingginya perceraian
Baca juga: Ratusan anak di Semarang Jateng ikuti khitanan massal BKKBN


Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2024