Surabaya (ANTARA News) - Budawayan, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengemukakan saat ini masyarakat Indonesia mengalami kenyataan tidak memiliki sikap yang jelas, sehingga banyak yang tidak bisa membedakan antara harus bangga dengan malu. "Kita ini sering tidak tahu kapan harus bangga dan kapan harus malu. Mestinya kita malu, malah bangga. Kita tidak bisa membedakan pantat dengan muka," katanya pada pengajian "Bangbang Wetan" di Balai Pemuda Surabaya, Rabu malam yang berlangsung hingga Kamis dinihari. Penyair asal Jombang, Jatim, yang juga suami dari penyanyi Novia Kolopaking itu tidak menyoroti ketidakjelasan sikap masyarakat kita bukan hanya dalam konteks persoalan sosial, melainkan juga dalam hal keagamaan. "Sampean itu kan Sun'ah, gak jelas apakah Sunni atau Syiah. Kadang ya 'rodok' (agak) PKI. Yang Islam kadang agak Kristen, kadang agak Katolik, sebaliknya yang Katolik kadang ya agak NU (Nahdlatul Ulama)," katanya disambut tawa jemaahnya. Karena itu, ia mengajak jemaahnya untuk melakukan 'muhasabah' (penghitungan) ulang atas rencana masa depan dari bangsa ini. Melalui pengajian yang dijadwalkan dilaksanakan setiap bulan sekali itu, Cak Nun mengajak mereka untuk memikirkan masalah tersebut. "Ayo kita hitung sama-sama. Kalau 'sampean' (anda) itu ponakannya SBY atau `sampean` adiknya Pak Imam (Gubernur Jatim Imam Utomo, red) gak apa-apa gak mikir. Wong saya sama sampean ini tidak ada yang mikirkan," katanya. Pada kesempatan itu ia mengajak masyarakat Surabaya dan Jawa Timur untuk bangkit menata masa depan bangsa ini. Masyarakat Jatim jangan lagi banyak berharap ke Jakarta sebagai pusat kekuasaan, karena realiatasnya tidak banyak memberikan arti. "Mau berharap apa dari Jakarta? Tidak bisa. Karena itu ayo kita berhitung dan mempersiapkan diri. Sekarang ini eranya timur," katanya seraya menyebut berputarnya sejarah dari zaman kerajaan hingga runtuhnya kekuasaan Soeharto. Cak Nun mengemukakan pola pengajian yang santai dan tidak hanya mengandalkan pengetahuan dari para pembicara itu akan dilaksanakan setiap bulan sekali. Namun demikian, ia mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengoreksinya. "Saya menyediakan waktu untuk sampean di sini selama satu tahun sesuai jadwal yang kita susun. Tapi kalau menurut sampean, bulan depan tidak perlu, ya cukup edisi perdana ini saja. Kalau sampai enam bulan, ya silahkan. Forum ini milik sampean," katanya. Ia menjelaskan dirinya tidak memiliki dukungan sponsor untuk menggelar kegiatan tersebut, melainkan hanya mengandalkan sumbangan dari anggota masyarakat yang peduli dan menginginkan kegiatan tersebut berjalan. Pengajian "Bangbang Wetan" itu juga diisi oleh pengamat sosial Prof Dr Hotman M Siahaan, pelawak Kartolo dan Priyo Aljabar serta seorang perempuan asal Australia bernama Jema. Penyair D Zawawi Imron yang dijadwalkan mengisi pengajian ternyata tidak hadir. "Bangbang Wetan" merupakan kependekan dari "Abang-abang teko Wetan" (bahasa Jawa yang berarti, merah-merah dari timur). Kalimat itu mengartikan adanya cahaya kemerahan dari timur sebagai lambang akan munculnya pencerahan. (*)
Copyright © ANTARA 2006