“Pesan kuat kepada pemuda dan remaja, jangan sampai kita growing old before growing rich, atau menua sebelum kaya. Itu adalah pesan yang sangat sarat dengan makna karena kita masuk ke bonus demografi,” kata Hasto dalam acara Siap Nikah Goes to Campus di Universitas Negeri Semarang yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Hasto menjelaskan, dari sekarang hingga tahun 2035, Indonesia akan menghadapi populasi menua atau aging population, yang berpotensi meningkatkan rasio ketergantungan atau dependency ratio para lanjut usia (lansia) semakin tinggi pada penduduk usia produktif.
“Di tahun 2035 lansianya banyak, jadi generasi muda terkena sindiran generasi stroberi. Padahal, orang tua yang ada di tahun 2035 itu melimpah, pendidikan dan ekonominya rendah. Jadi kalau para remaja atau mahasiswa tidak hebat, maka berat sekali untuk kita meraih Indonesia Emas dan betul-betul mentransformasikan era bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan,” ujar dia.
Ia menegaskan bahwa penentu bonus demografi adalah remaja.
Baca juga: BKKBN: Orang tua perlu kenali luka psikologis sebelum asuh anak
“Kalau remajanya kawin usia muda, kemudian setelah kawin jadi sebentar-sebentar hamil, dan pekerjaannya tidak jelas, kita jadi missed (kehilangan) bonus demografi,” ucapnya.
Ia juga menyinggung angka pernikahan yang semakin menurun dari tahun ke tahun, karena persepsi anak muda tentang pernikahan yang mulai berubah.
“Persepsi tentang pernikahan mengalami pergeseran, lama-lama orang merasa bahwa menikah itu suatu tradisi atau budaya yang tidak perlu, semakin begitu pola pikirnya. Ada beberapa penelitian yang menemukan bahwa keinginan atau persepsi terhadap pernikahan mengalami suatu penurunan,” paparnya.
Ia memaparkan data dari Kementerian Agama bahwa angka pernikahan dalam setahun sebelum tahun 2022 bisa mencapai dua juta lebih, sementara di tahun 2022-2023 hanya sekitar 1,5-1,7 juta.
“Bangsa kita menikah itu tujuannya untuk prokreasi, atau untuk mendapatkan keturunan. Kalau orang Jepang, menikah ada yang untuk rekreasi supaya hubungan suami-istri sah, ada juga security, supaya mereka mendapatkan tempat perlindungan, tetapi kalau laki-laki, tujuan utama mayoritasnya ingin memiliki anak. BKKBN punya survei, hampir 98 persen jawaban laki-laki ingin punya anak,” tuturnya.
Ia juga menyebutkan angka kelahiran total atau rata-rata perempuan menghasilkan anak dalam masa reproduksinya saat ini 2,18, yang artinya sudah mencapai target. Namun, ia tetap mengingatkan agar tetap ada program-program di daerah untuk menjaga penduduk tumbuh seimbang.
Hasto juga menekankan pentingnya remaja tidak menikah di usia yang terlalu muda, dan menikah jika sudah benar-benar siap, karena organ reproduksi perempuan sudah diatur sedemikian rupa untuk tidak menanggung beban bayi hingga usia yang ideal (21 tahun), sedangkan laki-laki idealnya di usia 25 tahun.
“Siap menikah itu memiliki makna yang dalam, artinya menyiapkan kehamilan,” demikian Hasto Wardoyo.
Baca juga: Kepala BKKBN: Cegah perceraian untuk wujudkan keluarga berkualitas
Baca juga: Kepala BKKBN sebut Indonesia masih punya pekerjaan rumah bangun mental
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024