Semarang (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengungkapkan bahwa keputusan pasangan nikah untuk tidak memiliki anak (childfree) membahayakan masa depan bangsa.

Hal tersebut dinyatakan lantaran Indonesia belum mengalami bonus demografi, ditambah dengan kondisi generasi lanjut usia Indonesia yang rata-rata berpendidikan rendah.

"Jadi nanti kan populasi yang sekarang sudah usia hampir tua itu kan banyak. Generasi 'baby boom' ini kan banyak. Kalau ini naik menjadi usia tua, (generasi) yang di bawahnya itu sedikit, itu berbahaya," kata Hasto saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, pada Rabu.

Menurut Hasto, keputusan "childfree" yang memangkas bonus demografi Indonesia akan menyebabkan struktur demografis yang tidak seimbang.

"Kan orang tua sekarang pendidikannya rendah, ekonominya rendah. (Dengan keputusan childfree) Struktur demografisnya tidak imbang," katanya.

Baca juga: Ahli: Jarang ada yang putuskan childfree karena alasan finansial

Jadi ini agak berat kalau Indonesia seperti itu. "Kalau bonus demografi belum terjadi, terus kita terjadi begitu (childfree), waduh berat," ungkap Hasto.

Menurut Hasto, keputusan 'childfree" di negara-negara maju seperti Jepang berdampak beda dengan keputusan "childfree" di Indonesia.

"Orang Jepang sih yang tua, pendidikannya tinggi, ekonominya maju. Tapi kita (Indonesia) yang tua kan pendidikannya masih rendah," kata Hasto.

Hasto juga menyoroti masalah "childfree" dari sisi kesehatan yang dapat berbahaya bagi kaum perempuan. Misalnya pada kasus kanker payudara.

"Nikah dan hamil itu sehat loh. Karena orang yang punya kanker payudara, juga cenderung orang yang tidak menyusui. Sehingga menyusui, memberikan air susu, hamil itu memberikan kesehatan," kata Hasto.

Baca juga: KemenPPPA tidak sependapat pandangan childfree

Selain itu, kata dia, wanita yang hanya memiliki satu anak lebih beresiko terkena kanker rahim. "Orang yang kena kanker rahim, bukan mulut rahim loh. Beda antara mulut rahim dan rahim," katanya.

Orang yang punya kanker rahim itu cenderung anaknya hanya satu, orangnya gemuk dan tensinya tinggi. "Itu juga akhirnya (potensi) kanker rahim meningkat. Orang yang kena (penyakit) miom pada rahim juga orang yang tidak menikah," kata Hasto.

Karena itu, ia menyarankan anak muda agar mengesampingkan hal-hal emosional dan tidak mengambil keputusan "childfree".

"Jadi hati-hati, jangan pertimbangannya emosional. Karena fungsi seorang perempuan hamil dan melahirkan itu ternyata ada manfaat, tidak hanya masalah keseimbangan penduduk. Tapi kalau saya sendiri program saya mendorong untuk jangan 'childfree'," kata Hasto.

Menurut dia, jumlah penduduk yang besar dan terukur juga berpengaruh pada perkembangan ekonomi.

"Dan juga marilah menikah, supaya Indonesia tetap menempati urutan antara 4-6 besar penduduk dunia. Kalau ekonomi kita mau 4 besar atau 6 besar atau 7 besar, kalau penduduknya tidak besar, tidak ada ekonomi besar," kata Hasto.

Baca juga: Ini dampak hingga risiko biologis memilih "childfree"

Menurut dia, angka melahirkan yang ideal untuk setiap pasangan menikah adalah 2,1 dan hingga kini rata-rata pasangan di Indonesia melahirkan 2,18 anak.

"Harusnya perempuan itu rata-rata punya anak 2,1. Secara nasional angkanya 2,18. Tapi di Jawa Tengah itu 2,04. Jadi sudah terlalu sedikit, akan menjadi 'zero growth' atau 'minus growth'. Ada sedikit banyak ada pengaruhnya (dari) itu (childfree)," kata Hasto.

Berdasarkan sejumlah data yang dihimpun ANTARA, presentasi jumlah lansia sebesar 11,75 persen dari total populasi penduduk Indonesia pada 2023.

Dari 11,75 persen tersebut, sebanyak 32,42 persen menamatkan Sekolah Dasar (SD) kemudian 29 persen tidak tamat SD. Sedangkan 10,60 persen yang tamat Sekolah Menengah (SM) sederajat, 9,62 persen yang tamat SMP sederajat dan hanya 6,77 persen yang pernah menempuh perguruan tinggi.

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024