Jakarta (ANTARA) - Deputi bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nopian Andusti mengatakan orang tua perlu mengenali luka psikologisnya terlebih dahulu sebelum mengasuh anak.
"Penting bagi orang tua untuk mengenali dan memahami dirinya sendiri, termasuk mengenali luka psikologis yang pernah dialami yang mungkin secara tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku dalam pengasuhan sehari-hari," ujar Nopian dalam Kelas Orang Tua Hebat (Kerabat) edisi Hari Keluarga Nasional Ke-31 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, apabila orang tua tidak mampu mengenali dirinya sendiri, luka psikologis yang pernah dialami, atau trauma di masa lalu, maka dapat menimbulkan pengasuhan yang buruk karena berpengaruh terhadap konsep dirinya.
"Konsep diri menjadi negatif sehingga muncul sikap negatif yang mencerminkan orang tua gagal dan menyerah dalam mendidik serta mengasuh anak, mengabaikan nasihat positif dan tidak berupaya lebih keras lagi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan anak," katanya.
Baca juga: KemenPPPA tekankan pengasuhan layak anak cetak anak berpribadi baik
Sementara itu, Psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sukmadiarti Perangin-angin menegaskan bahwa kunci kebahagiaan anak adalah orang tua yang bahagia.
"Kuncinya, ayah dan ibu harus bahagia dulu, karena bagaimana menularkan kebahagiaan, sementara kita sendiri tidak bahagia. Anak akan terhambat potensinya, padahal tidak ada anak yang tidak pintar, setiap anak terlahir memiliki potensi unggul semua,” ujar dia.
Menurut dia, luka psikologis harus benar-benar dikenali.
“Ketika kita bercerita atau mengingat sesuatu peristiwa, ada rasa yang berbeda di tubuh kita. Misalnya, kekhawatiran bisa menimbulkan reaksi di tubuh seperti mata berkaca-kaca, atau kalau kita merasa marah, ada reaksi dada yang berdebar," ucapnya.
Baca juga: Orang tua terlatih lebih mampu tingkatkan kualitas pengasuhan anak
Ia juga menjelaskan orang tua perlu mengenali tubuhnya saat ada sinyal yang tidak baik pada kondisi jiwanya.
"Kalau tubuh sudah kasih sinyal, jangan diabaikan tetapi disambut dulu,” ujarnya.
Sukmadiarti mengemukakan, apabila seorang ibu dapat mengenal psikologisnya dengan baik dan menjadi pribadi selesai dengan dirinya sendiri, maka komunikasi dengan suami bisa berjalan harmonis.
“Kalau kita sudah selesai menjadi diri sendiri yang bahagia, maka dampaknya memiliki pernikahan yang bahagia. Komunikasi dengan suami lancar, harmonis, langgeng,” katanya.
Menurut dia, jika pernikahan bahagia, maka anak akan tumbuh sehat dan ceria, karena ayah dan ibu yang sering bertengkar akan menimbulkan trauma atau luka psikologis pada anak.
Baca juga: Cegah kekerasan, orang tua alami gangguan mental diminta ke psikolog
"Kalau tujuannya menyayangi dan mencintai anak kita, maka rawatlah pernikahan kita, karena sumber kebahagiaan anak adalah ketika orang tuanya bahagia dan harmonis. Maka, akan lahir keluarga penuh cinta," tuturnya.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024