Belanja masyarakat kelas menengah ke bawah berpotensi tertekan seiring dengan kenaikan biaya cicilan setelah adanya pandemi COVID-19...

Jakarta (ANTARA) - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etika Karyani mengatakan tekanan daya beli dan konsumsi dapat menggerus permintaan kredit UMKM sekaligus mengancam kualitas kredit.

"Belanja masyarakat kelas menengah ke bawah berpotensi tertekan seiring dengan kenaikan biaya cicilan setelah adanya pandemi COVID-19, di mana respons penyesuaian suku bunga kredit terhadap kenaikan suku bunga acuan oleh industri perbankan juga akan mempengaruhi daya beli masyarakat mendatang," kata Etika di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, diharapkan Bank Indonesia (BI) bisa menyesuaikan dengan penurunan inflasi dan perbankan harus merevisi panduan penyaluran kredit misalnya melakukan rekstrukturisasi dan negosiasi agar pertumbuhan kredit UMKM tetap tumbuh meski tidak agresif.

Dalam Webinar Pertumbuhan Kredit di Tengah Ancaman Risiko Global, Etika menuturkan belanja kelas menengah dan bawah masih ditopang oleh tabungan. Fenomena makan tabungan sejak kuartal IV-2023 itu juga mengindikasikan adanya pelemahan pada daya beli.

"Dengan demikian maka kita bisa mengatakan bahwa cicilan utang meningkat, daya beli masyarakat menengah ke bawah ini kian tergerus karena adanya peningkatan pendapatan mereka tidak sejalan dengan naiknya harga-harga," tuturnya.

Selain kelas menengah, yang berkontribusi pada pergerakan ekonomi adalah UMKM. UMKM berperan sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian dengan jumlahnya mencapai 90 persen dari keseluruhan unit usaha dimana pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM sudah mencapai sekitar 66 juta dan memberikan kontribusi menjadi mencapai 60 persen dari pendapatan domestik bruto Indonesia.

Menurut dia, UMKM terus menghadapi hambatan dalam mengakses kredit atau kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan.

Di sisi lain, penyaluran kredit UMKM masih dalam tahap pemulihan setelah pandemi COVID-19 sehingga perlu memang adanya perbaikan dari sektor riil.

Selain itu juga, kemungkinan akses market dan suku bunga yang tinggi itu telah menyulitkan debitur melunasi pembayarannya. Kenaikan suku bunga bank sentral per 24 April 2024 menjadi 6,25 persen bisa menyebabkan terkereknya biaya dana (cost of fund) di perbankan.

"Mereka kemudian nanti mengantisipasinya dengan menaikkan suku bunga kredit untuk meringankan beban biaya dana," ujarnya.

Di tengah suku bunga acuan yang meningkat di mana BI-Rate menjadi sebesar 6,25 persen, bank dapat memanfaatkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) Bank Indonesia.

Namun, penting bagi otoritas pengawas dan bank untuk secara hati-hati mengelola dan memitigasi risiko-risiko penurunan likuiditas, gagal bayar, profitabilitas bank melalui pengawasan yang ketat, penilaian risiko yang tepat, dan penerapan praktik manajemen risiko yang efektif.

Sebelumnya, pada April 2024 Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen untuk memperkuat stabilitas nilai tukar dan mencegah pertumbuhan ekonomi dari dampak rambatan global.

Baca juga: CORE: Kelancaran distribusi penting untuk jaga stabilitas harga pangan
Baca juga: CORE: Iuran Tapera miliki tujuan positif

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024