Garut, Jawa Barat (ANTARA) - Badan Informasi Geospasial menjajaki pembentukan standarisasi terkait skema berbagi pakai data gaya berat antar-instansi sehingga bisa menjadi acuan yang dapat menentukan arah pembangunan bangsa di masa depan.

Materi pembentukan standarisasi data gaya berat itu disusun secara komprehensif melibatkan seluruh perwakilan konsorsium yang terdiri atas lembaga pemerintah, kementerian/non kementerian, BUMN, dan perguruan tinggi dalam pertemuan ke-7 KGI di PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Areal Kamojang, Garut, Jawa Barat, 25-26 Juni 2024.

"Poin materi standarisasi tersebut meliputi standar pengumpulan atau akuisisi, pengolahan, pengelolaan, dan penyerbarluasan berbagi pakai data gayaberat," kata Ketua KGI Gatot Haryo Pramono saat ditemui di lokasi pertemuan ke-7 KGI, Selasa.

Menurut dia, tujuan lain pembentukan standarisasi skema berbagi pakai data gaya berat itu supaya setiap instansi bisa leluasa tanpa keragu-raguan berbagi pakai data gaya berat dimiliki oleh antara mereka.

Dengan begitu, pihaknya berharap skema berbagai pakai data gaya berat sebagai prospek penting untuk menjadi acuan pembentukan arah pembangunan bisa berjalan dengan baik.

Baca juga: BIG: Berbagi data gaya berat untuk melindungi kekayaan bumi Indonesia

Hal demikian dikarenakan data gaya berat adalah sumber informasi yang penting untuk memahami berbagai fenomena alam dan memiliki banyak aplikasi dalam berbagai bidang; Geologi, Hidrologi, Tenik Sipil, Industri, Geodesi, Navigasi, Maritim, Kebencanaan dan sebagainya.

Sementara sebagian besar bentang bumi Indonesia belum terdata secara detail, menurut catatan Badan Informasi Geospasial (BIG) itu dikarenakan mahalnya ongkos operasional dan besarnya wilayah Indonesia yang mencapai 8,6 juta kilometer persegi dan terdiri dari 17 ribu pulau.

Gatot yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika BIG mengungkapkan, dalam pelaksanaan sebuah kegiatan untuk pengukuran data dan sebagainya, rata-rata bisa lebih senilai Rp7 - 8 miliar itu pun survei Airbone untuk satu seksi di 2-3 provinsi.

"Itulah kita fasilitasi data sharing ini yang memang dibutuhkan, dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi anggaran, efektivitas di berbagai bidang itu seiringan dengan perkembangan teknologi," kata dia.

Ditempat yang sama, perwakilan delegasi dari PT. Pertamina Hulu Energi Afzal Hanif mengaku sangat terbantu dengan adanya konsolidasi data melalui Konsorsium Gayaberat Indonesia.

Ia menjelaskan dalam upaya mendeteksi sumber daya alam, PHE menggunakan data BIG sebagai rujukan awal dan dari situ, perseroan melakukan pemetaan yang lebih detil.

Di sektor pertambangan, panas bumi, minyak dan gas bumi, data gaya berat membantu mengidentifikasi struktur geologi bawah permukaan. Hal itu memungkinkan penentuan lokasi deposit mineral dan sumber daya energi dengan lebih efisien dan efektif.

Data gaya berat juga dimanfaatkan untuk mendeteksi anomali gravitasi yang mengindikasikan keberadaan struktur geologi dan potensi cadangan minyak dan gas. Artinya, ada satu langkah yang bisa dihemat oleh perusahaan.

"Ini adalah kolaborasi yang penting. Kalau ada integrasi antar-instansi, kita bisa melakukan efisiensi untuk berbagai bidang terutama kita di industri juga banyak menganggarkan, sayang kalau tadi overlap," ujarnya.

 

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024