Padang, (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Dr Eep Saefulloh Fatah mengatakan, Indonesia membutuhkan menteri-menteri "hijau", sebagai salah stau upaya untuk mengelola dan menyelamatkan lingkungan hidup di negara ini."Kalau di zaman orde baru menteri hijau berarti dari kalangan tentara, awal reformasi menteri hijau berarti dari kalangan Islam, dan saat ini harus ada definisi baru yang lebih representatif bahwa menteri hijau dalam pengertiannya memiliki sensitifitas lingkungan hidup," ujar Eep kepada ANTARA di sela-sela Diklat Pengelolaan Lingkungan Hidup di Padang, Rabu (6/9). Diklat digelar Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dengan peserta para anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota di Sumbar. Menurut dia, menteri-menteri "hijau" dibutuhkan hampir pada semua departemen, tapi terutama untuk Departemen Perindustrian, Perdagangan, Dalam Negeri dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia menjelaskan, untuk Departemen Perindustrian dibutuhkannya menteri "hijau" agar dalam membuat kebijakannya jangan sampai merusak lingkungan hidup dan daya topang ekologi. Dalam membuat kebijakan berkaitan dengan tata ruang maka harus menimbang lingkungan hidup, jangan sampai tempat yang tersedia untuk konservasi akhirnya disingkirkan untuk kebutuhan-kebutuhan industri, ujarnya. Ia mencontohkan, jangan sampai ada kebijakan hutan kota digeser jadi tempat parkir atau daerah resapan air dijadikan kawasan perumahan. Kemudian, Departemen Perdagangan butuh menteri "hijau" agar jangan sampai aktifitas perdagangan berdampak merusak lingkungan. Lalu di Departemen Dalam Negeri menteri "hijau" dibutuhkan karena berbagai kebijakan tata ruang diatur oleh instansi ini. Selanjutnya, menteri "hijau" di Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, karena penataan daerah tertinggal jangan sampai tidak memasukan variabel lingkungan. "Variabel ini sangat dibutuhkan karena ketertinggalan lingkungan hidup, dampaknya jauh lebih mengerikan dari ketertinggalan ekonomi," kata Eep. Ia mencontohkan, di suatu desa ada satu sungai yang ditambang terus batu dan pasirnya hingga akhirnya sungai itu mati. Ekonomi di desa itu mungkin akan bergerak naik dikarenakan penduduknya punya pencarian menjual pasir dan batu, tapi pada saat yang sama daerah itu tertinggal secara lingkungan. Saat ditanya apakah dalam pemerintahan saat ini, ada figur menteri "hijua", Eep Saefulloh mengatakan, tidak terlihat kesan yang kuat bahwa pemerintah saat ini memprioritaskan persoalan lingkungan hidup sebagai persoalan yang penting. Indikasinya adalah, dana untuk lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam hanya nol koma sekian persen dari APBN. Kemudian, tidak tergerak pemerintah memperkuat jajaran penegakan hukum lingkungan hidup, antara lain dengan belum menjadikan Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjadi departemen. Indikasi lain, tidak ada kebijakan yang memang dengan sengaja memprioritaskan soal lingkungan hidup, baik itu jangka menengah atau jangka panjang, "Memang ada lingkungan hidup disebut, tetapi tidak jadi prioritas," katanya. Ditanya apakah ada figur-figur calon menteri "hijau" saat ini, Eep mengatakan, terlalu pagi menyebut nama, karena tentu harus ada pertimbangan, tapi orangnya mestinya ada dan malah banyak. "Saya yakin banyak orangnya (calon menteri "hijau", red) tapi saya tidak mungkin menyebut seseorang tanpa harus meneliti secara seksama," tambah Eep Saefulloh Fatah.(*)
Copyright © ANTARA 2006