Padang (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas
Indonesia (UI), Eep Saefulloh Fatah minta pemerintah melakukan
klarifikasi kredibelitas data stok pangan nasional sebelum memutuskan
kebijakan impor beras, karena hingga saat ini data statistik yang dipakai sangat patut dipertanyakan.
"Sebelum mengimpor beras sebetulnya yang harus pertama diklarifikasi adalah data dan kredibelitasnya tentang stok pangan kita yang simpang siur saat ini," ujar Eep kepada ANTARA News di sela-sela Diklat Pengelolaan Lingkungan Hidup di Padang, Rabu.
Diklat digelar Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dengan peserta para anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota di Sumbar.
Kesimpang-siran data tersebut, menurut dia, terjadi karena di satu sumber (Departemen Pertanian, red) mengatakan Indonesia sudah mampu untuk mendukung ketersediaan pangan khususnya beras, namun dari sisi Bulog dan Departemen Perdagangan justru membutuhkan impor.
"Simpang-siur ini yang harus diklarifikasi. Kalau memang sesuai dengan fakta dan data yang kredibel mengatakan stok beras kita tidak mencukupi, maka mau apa lagi harus impor," katanya.
Akan tetapi, persoalannya impor itu tidak didasari fakta bahwa kita (Indonesia, red) kekurangan stok pangan. "Terus terang saya tidak percaya pada data resmi," ujarnya.
"Saya dididik lama di universitas dan melakukan aktivitas riset ilmu sosial lumayan lama. Semakin lama semakin terlihat kredibilitas data resmi statistik sangat patut dipertanyakan," tambahnya.
Ia menyebutkan, simpang-siur data itu, entah karena metodeloginya atau penggunaannya untuk tujuan politik, contoh terakhir tentang pidato presiden terkait data kemiskinan.
Akan tetapi, karena beras adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda dan menyangkut kelangsungan hidup orang banyak, mau tidak mau pemerintah harus bertanggungjawab untuk melakukan penyediaan stoknya.
"Jika impor menjadi satu-satunya pilihan kenapa tidak, tapi persoalannya hal itu merupakan kebijakan yang dilakukan saat stok tersedia," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006