Pelarangan penggunaan ABD membatasi akses penyandang disabilitas tunarungu untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara dan inklusif
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengatakan bahwa kasus peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) penyandang disabilitas yang mencopot alat bantu dengar (ABD) menjadi perhatian pihaknya.
"Apa yang menimpa Naufal ini tentu menjadi perhatian kami untuk selanjutnya akan kami komunikasikan bersama Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), sehingga kejadian serupa tidak perlu terulang kembali," kata Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dhahana Putra menanggapi kasus yang menimpa Naufal Athallah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.
Sementara itu, Dhahana sangat menyayangkan adanya peristiwa yang menimpa Naufal saat mengikuti UTBK pada 14 Mei 2024. Menurut dia, penggunaan ABD bukan dimaksudkan untuk bertindak curang dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi.
"Dapat kami sampaikan, pencopotan ABD Naufal tidak senapas dengan komitmen dan semangat pemerintah untuk mendorong pemenuhan serta penghormatan HAM bagi para penyandang disabilitas di dunia pendidikan tanah air," ujarnya.
Terlebih, lanjut dia, Indonesia merupakan negara yang turut serta dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang wajib mendorong terlaksananya sistem pendidikan yang inklusif.
"Pelarangan penggunaan ABD membatasi akses penyandang disabilitas tunarungu untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara dan inklusif," imbuhnya.
Baca juga: Kasoem dan Cochlear luncurkan alat bantu dengar berteknologi tinggi
Baca juga: Dokter sebut alat bantu dengar tidak bisa dipakai pasien seumur hidup
Ia menjelaskan bahwa melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan beragam regulasi, pemerintah terus berupaya secara berkesinambungan meningkatkan pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas.
Salah satu bentuk upaya pemerintah, kata dia, yaitu dengan masuknya penyandang disabilitas ke dalam kelompok sasaran di Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Walaupun demikian, ia mengakui masih terdapat sejumlah tantangan secara teknis dalam mendorong pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, kata dia, pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas di sektor publik, termasuk di dunia pendidikan, tentu berkaitan dengan anggaran dan tingkat pemahaman terkait hak penyandang disabilitas.
Oleh sebab itu, ia menilai apa yang menimpa Naufal menunjukkan masih adanya kalangan masyarakat yang belum dengan baik memahami pentingnya penghormatan HAM bagi penyandang disabilitas. Sehingga, ia meyakini pentingnya menggencarkan diseminasi HAM terkait penyandang disabilitas kepada berbagai lapisan masyarakat, tidak terkecuali di dunia pendidikan.
"Langkah ini penting dilakukan agar berbagai elemen di dunia pendidikan termasuk penyelenggara UTBK dapat memiliki kesadaran yang lebih baik tentang pendidikan yang inklusif dan penghormatan hak-hak para penyandang disabilitas," ujarnya.
Adapun ia menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang membangun kolaborasi bersama sejumlah sekolah dan pelajar SMA sederajat di Jakarta yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Pelajar Pecinta HAM (Koppeta HAM) dalam menggencarkan pemahaman HAM termasuk hak para penyandang disabilitas di kalangan remaja.
"Harapannya dengan memupuk kesadaran HAM sedari dini kita dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua," jelasnya.
Pewarta: Rio Feisal
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024