"Kebutuhan kemanusiaan di Afganistan masih sangat tinggi. Lebih dari 50 persen populasi -- sekitar 23,7 juta orang -- membutuhkan bantuan kemanusiaan tahun ini, jumlah orang yang membutuhkan bantuan tertinggi ketiga di dunia," kata Lisa Doughten pada pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai Afganistan.
Lisa Doughten adalah Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Bidang Kemanusiaan Divisi Pembiayaan Kemanusiaan dan Mobilisasi Sumber Daya.
Dia menekankan dampak kemiskinan, kerawanan pangan dan perubahan iklim dengan mengatakan: "Satu dari empat warga Afganistan tidak yakin dari mana makanan mereka selanjutnya akan diperoleh. Hampir tiga juta anak mengalami kelaparan tingkat akut."
Doughten juga mencatat dampak buruk perubahan iklim, dengan lebih seringnya kejadian cuaca ekstrem dan kekeringan tahunan diperkirakan akan menjadi hal biasa pada tahun 2030.
"Upaya-upaya telah dilakukan untuk membentuk program-program aksi antisipatif... namun program-program ini perlu memiliki staf dan dana yang cukup agar bisa membuahkan hasil," katanya.
Dia mengatakan bahwa perempuan dan anak perempuan "sangat" terkena dampak dari pemerintahan Taliban, khususnya larangan terhadap pendidikan anak perempuan, yang "mendorong peningkatan pernikahan anak dan melahirkan anak dini."
"Laporan percobaan bunuh diri di kalangan perempuan dan anak perempuan juga meningkat," tambahnya.
Meski terdapat tantangan, 9,9 juta orang menerima bantuan dari Januari hingga Maret 2024, katanya, seraya menambahkan bahwa hanya 21 persen dari 3 miliar dolar (sekitar Rp49 triliun) yang dibutuhkan untuk tahun 2024 telah didanai.
Dia menekankan perlunya bantuan berkelanjutan untuk mendukung solusi jangka panjang, membantu masyarakat Afganistan keluar dari kemiskinan dan bertahan dari perubahan iklim.
Perwakilan khusus PBB untuk Afganistan, Roza Otunbayeva, juga mengatakan kepada dewan bahwa negara yang dilanda perang itu tetap berada dalam "mode manajemen krisis" meski otoritas de facto menjaga stabilitas politik.
"Stabilitas di Afganistan yang terus dipertahankan oleh otoritas de facto, meski saya melihat adanya tanda-tanda ketidakpuasan masyarakat, tidak boleh menyembunyikan fakta bahwa sebagai komunitas internasional kita masih berada dalam mode manajemen krisis," kata Otunbayeva.
Meskipun ada bantuan internasional senilai lebih dari 7 miliar dolar (sekitar Rp115 triliun), Afganistan masih menghadapi kemiskinan yang sangat besar dan kurang siap menghadapi perubahan iklim.
“Afghanistan memiliki jejak karbon yang hampir nol, namun merupakan negara keenam yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan paling tidak siap menghadapi guncangan iklim," katanya.
"Sayangnya, sumber daya bantuan internasional semakin berkurang, sebagian karena persaingan tuntutan global terhadap berkurangnya sumber daya donor. Tahun 2024 permohonan sekitar tiga miliar dolar hanya didanai 20 persen,” tambahnya.
Meskipun politik di Afganistan stabil, dia menyatakan keprihatinan atas kurangnya ruang politik untuk perbedaan pendapat.
Utusan tersebut juga mengecam pembatasan yang sedang berlangsung terhadap perempuan dan anak perempuan, yang kini telah mengalami lebih dari 1000 hari tidak bersekolah, yang menyebabkan “meningkatnya tingkat depresi di kalangan perempuan.”
Dia menyerukan fleksibilitas yang lebih besar dan kemauan politik menjelang pertemuan Doha mendatang untuk mengatasi masalah yang lebih besar dan mengurangi ketidakpastian bagi rakyat Afganistan.
Sumber: Anadolu
Baca juga: FAO: 14,2 juta warga Afghanistan diperkirakan hadapi kerawanan pangan
Baca juga: UNDP: Hampir 80 persen populasi Afghanistan sulit akses air minum
Penerjemah: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024