Semarang (ANTARA) - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai batas minimum 30 persen karena banyak faktor yang berkontribusi.

"Faktor yang paling dominan adalah komitmen partai politik yang belum sepenuhnya melembaga dalam mendorong internalisasi keterwakilan perempuan di kelembagaan parpol," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan dari Semarang, Jumat.

Pada Pemilu Anggota DPR 2024, kata Titi, masih belum menyentuh persentase itu atau sekitar 21,9 persen (127 kursi) dari 580 anggota DPR RI meski ada kenaikan ketimbang pada Pemilu 2019 sekitar 20,5 persen (118 kursi) dari 575 anggota DPR RI.

Menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini, partai masih musiman dalam mempersiapkan kader perempuan politik. Bahkan, cenderung kurang optimal dalam melakukan penguatan kapasitas dan pendidikan politik terhadap perempuan yang mereka calonkan pada pemilu.

"Kaderisasi dan rekrutmen politik belum didesain sebagai kerja kepartaian yang berkesinambungan secara terus-menerus, baik saat siklus pemilu ataupun di luar siklus pemilu," ujarnya.

Pegiat pemilu ini mengemukakan bahwa partai masih menempatkan keterwakilan perempuan sekadar memenuhi persyaratan formal pada pemilu, atau belum sebagai paradigma yang melekat dalam tata kelola pemilu dan demokrasi yang inklusif.

"Jadinya banyak yang justru beranggapan keterwakilan perempuan sebagai beban ketimbang sebagai prinsip yang niscaya dipenuhi dalam praktik berdemokrasi," katanya.

Belum lagi, lanjut dia, realitas mahalnya ongkos politik dan praktik politik transaksional yang sangat menghambat perempuan untuk bisa berkiprah dalam kompetisi yang sehat dan adil dalam kontestasi pemilu.

Diakuinya bahwa perempuan yang secara kapital memang tertinggal dibanding politikus laki-laki, akhirnya makin tertinggal dan sulit untuk menang pada kompetisi.

Selain itu, masih adanya diskriminasi sikap patriarki di kalangan masyarakat pemilih yang menilai perempuan belum sepenuhnya layak menjadi pemimpin. Hal ini juga menghambat perempuan untuk bisa terpilih dan merebut kursi pada pemilu.

Ditambah lagi, kata Titi, pada Pemilu 2024 ternyata KPU justru mengintroduksi pengaturan yang malah melemahkan kebijakan afirmasi dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPD yang mereka buat.

"Jadinya tantangan perempuan politik makin besar dan berlipat," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.

Baca juga: KPU diadukan ke DKPP soal aturan 30 persen caleg perempuan pada pileg
Baca juga: MK minta PSU di Gorontalo karena keterwakilan perempuan tak terpenuhi

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024